Rabu, 09 Januari 2008

Re: [psikologi_transformatif] Re: apakah semua anak pintar?

mumpung ingat dan sempat,
saya nambahi sedikit....
tadi saya bicara tentang self centered dalam bernalar (yangselalu akan terekspresikan dalam perilaku, baik disadar maupun tidak) maksudnya adalah,
acapkali saking terpakunya kita kepada diri sendiri, kita jadi lengah, atau bahkan tidak mampu melihat sebuah permasalahan dalam lingkup yang lebih luas, using macro perspective.  yang kita pikir adalah yang penting kitanya beres, baik2 aja, aman, makmur, tidak peduli bagaimana dengan orang lain, apalagi jika harus memperhitungkan juga kepentingan masyarakat yang lebih luas sampai ke masa depan.
 
hal demikian ini memiliki kefatalannya sendiri.
contohnya saya kembalikan ke soal membuang sampah di tempatnya tadi ya?
kita membuang selembar plstik seukur es mambo, dan kita beranggapan hal itu biasa saja, karena tidak berbahaya.
iya kan?
karena hanya selembar plastik es mambo.
padahal................
well, ini sudah saya jelaskan secara lebih mendetil di email sebelumnya.....
 
contoh lain,
kita tidak merawat kendaraan kita dengan baik, karena toh mahal.
jadi biarkan saja sampai butut.....
dalam proses kendaraan kita menuju butut tadi , kita lupa memperhitungkan nilai ekonomi yang harus kita bayar atas ketidak berfungsian secara optimal kendaraan tersebut, apalagi derajat kerusakan lingkungan yang kita akibatkan, akibat racun yang keluar dari knalpot kendaraan yang tidak terawat tadi.
 
atau membiarkan sampah menumpuk di pekarangan kita, rumah kita kotor tidak terawat.
biasanya yang kita pikir adalah, toh rumah gue ini.... suka-suka gue...
yang terlewatkan adalah bahwa bagaimanapun kejorokan kita dan rumah yang tidak terawat itu membuatnya potensial menjadi sarang penyakit, hama - tikus kecoak, dll, yang..... akan mengganggu lingkungan sekitar kita. bukan itu saja, rumah tersebut juga akan merusak harmoni estetis lingkungan di sekitarnya.
 
begitupun jika kita tidak merawat binatang peliharaan kita dengan baik.
atau membiarkan binatang liar, apalagi sakit dan gila berkeliaran di jalan.
 
kita sering tidak sanggup memahami bahwa itu adalah manifestasi dari kejahatan.
 
di salah satu seminar besar untuk remaja dimana saya diundang sebagai pembicara, saya menyampaikan bahwa memelihara tubuh, diri, kesehatan, kebugaran, dana kualitas hidup kita dengan sebaik-baiknya adalah bagian dari perwujudan iman yang benar kepada Tuhan.
sedangkan hal sebaliknya merupakan pengkhianatan terhadap kasih Allah.
Kok?
Badan-badan kita sendiri, apa urusannya?
ngapain diributin?
 
sangat harus disadari oleh kita semua adalah....
kualitas diri kita yang buruk, akan mempengaruhi kualitas masyarakat kita.
bayangkan jika kualitas masyarakat bangsa ini buruk????
mau jadi apa bangsa ini???
 
jika anak muda bangsa ini pemalas, opportunis dan dangkal, bodoh, gila...
apa jadinya bangsa ini.
bukankah mereka adalah masa depan kita semua?
 
lalu peran orangtuanya dimana?
jelas maha penting.
terutama ketika anak berusia di usia yang muda.
hanya saja, di usianya yang lebih matang (remaja - dewasa. remaja dimulai di usia 13-20-an, dewasa = 20 ke atas) semestinya mereka sudah berdaya mengatur dirinya, kehidupannya sendiri secara benar.
itu sebabnya jika ada pribadi di usia yang termasuk usia dewasa masih ngelantur, kacau, malas, brengsek didiamkan (apalagi jika malah dibenarkan oleh lingkungan terdekatnya dengan alasan dia itu bocah yang selalu masih lucu2nya), menurut saya yang paling bersalah di sini adalah mereka yang membiarkan kebrengsekan itu....
 
mengapa?
karena bagaimanapun si pribadi tersebut tetap bagian dari sebuah masyarakat besar.
 
untuk itu apa yang sebaiknya dilakukan adalah jangan jemu berupaya, jangan malas bekerja, selalu mau belajar....
dan dilakukan sungguh...
hidup adalah proses.
mudah2an hal baik yang kita upayakan sekarang, bersambut dengan yang lainnya, dan membuahkan segala kebaikan di masa depan.
 
untuk siapa lagi jika bukan anak2 kita sendiri
dan bangsa ini...
 
best,
bude tih
 

 



 
On 1/10/08, ratih ibrahim <personalgrowth@gmail.com> wrote:
ya tuhan.....
 
(ngomong2, tahukah kamu, bahwa setiap kali berbicara denganmu, rasanya seperti sedang bercakap-cakap dengan Tuhan.
eh, mungkin asik banget ya, kalau betulan bisa ngobrol, bales2an email, chatting, sms-an sama Tuhan yang betulan.....
sayangnya, ada sebuah pernyataan yang kira2 terjemahan bebasnya demikian :
"kalau kita bilang kita sedang bicara dengan Tuhan, itu disebut berdoa. namun, kalau  kita bilang bahwa Tuhan sedang bicara dengan kita...... itu di sebut schizophrenic"
karena itu, baik juga bahwa saya bicaranya sama tuhan yang kamu ini aja...... *senyum lebar.....*)
 
next time, mbok saya juga diajak ngobrol bersama dua orang pintar2 itu....
supaya bisa belajar banyak dari anda bertiga...
 
sekarang menjawab emailmu...
according to............ me?,
wah, sakjane, saya ya melihat hal yang sama.
 
according to me, masyarakat kita, sampai saat ini, sebagian besar, masih memiliki pola pikir yang tidak hanya sempit, lingkupnya terbatas serta pragmatis, namun tak jarang terdapat kerancuan dalam menalar.
 
sempit yang saya maksud adalah tidak hanya bahwa kita cenderung mendudukkan segala sesuatunya secara dichotomistic -hitam putih (btw, ini salah satu contoh dari makna sempit tadi), tetapi juga sempit dalam orientasi sosial berfikirnya. maksudnya, orientasinya sangat terpaku ke diri sendiri, self centered, bagaimana menjelaskannya ya? saya tidak cukup yakin apakah penggunaan terminologi : lu-lu gua-gue, yang penting jangan colek gua, suka-suka gua - cocok untuk menjelaskannya?
 
bicara tentang "warna" hitam dan putih tadi, maksudnya adalah kita cenderung fatalistis ya? melihat hidup hanya berbatas pada 2 alternatif pilihan, ya atau tidak. salah satu contohnya, jika kamu tidak sepakat dengan saya, kamu pasti musuh saya.
kan merepotkan sekali yang seperti ini.
padahal, jika bicara tentang warna, bukankah ada banyak sekali warna di kehidupan ini bukan? termasuk dengan berbagai alternatif gradasinya.
 
bagaimana dengan yang self centered  tadi itu contoh aktualnya apa ya? hmmmmmmmmmm............
tentang membuang sampah pada tempatnya deh.
 
begini,
baru-baru saja kita mulai tergebah-gebah dengan isu global warming kan?
ini isu yang lagi "hot".... bersamaan dengan semakin hot-nya bumi, lantaran lapisan ozon bumi yang membolong....
nah, kemarin ada seorang wartawan yang (thanks to promo heboh tentang saya itu....*wink) yang mewawancarai saya perihal isu ini, dikaitkan dengan pendidikan yang sebaiknya diterapkan di rumah...
awalnya memang wawancara,
kelanjutannya kami ngobrol lumayan rame, hehehehehe.....
 
ketika bicara ttg global warming, ini adalah sebuah isu besar, besar banget....
dan hal yang dihebohkan secara sangat ini adalah sebuah hal nyata yang sedang berlangsung., sampai..... whaaaaaa, entah yauw?
berarti ada sebuah proses di situ.
sebuah proses yang memiliki konektivitas dengan berbagai hal yang ada di muka bumi ini,
termasuk bahkan yang terpapar di depan hidung kita dalam kehidupan sehari-hari.
termasuk dengan perilaku membuang sampah sembarangan,
pemborosan sumber daya alam : listrik, air, udara, tanah, mineral, dll.... (perlu dijelaskan juga kah?)
dan masih buanyakkkkkkkkkkkkk banget hal-hal lain.
 
saya lebih suka menggunakan kata pemborosan, ketimbang pencemaran.
contohnya gini, penggunaan batu baterei secara boros.
berarti akan menghasilkan banyak limbah batu baterei.
kemana limbah ini dibuang?
karena toh hanya batu baterei, secara polos, kita buang saja ke pekarangan rumah kita.
yang terjadi?
pemborosan sumber daya alam, berupa tanah pekarangan kita....
mengapa?
karena tercemar limbah batu baterei tadi.
berapa lama waktu yang diperlukan tanah tadi untuk pulih?
hayoooooooooooo......... cari sendiri datanya ya?
 
begitupun dengan air.
begitupun dengan energi2 alam yang lain...
 
belakangan, orang heboh (lagi) tentang membuang sampah secara terpilah.....
bagi sebagian besar orang, hal ini sulit sekali untuk dilakukan.
sebagian bilang : tidak mungkin dilakukan.
saya bilang : kenapa tidak..... (apalagi hal ini sudah diberlakukan di rumah saya sejak 18 tahun yang lalu! tidak peduli di luar sana orang belum melakukannya....)
 
mengapa sulit?
ini adalah sebuah perilaku baru yang dicoba diterapkan.
hal yang baru, biasanya memang tidak mudah dilakukan.
menimbulkan kecanggungan, rasa gamang, tidak nyaman....
mengapa?
karena memang kita belum terbiasa.
begitu secara konsisten dilakukan, lalu jadi terbiasa, kita bakal merasa nyaman-nyaman saja...
 
tetapi sebelum masuk ke jenjang yang lebih sophisticated yaitu tindakan memilah sampah, bagaimana dengan tindakan membuang sampah pada tempatnya dulu?
bukankah hal ini saja belum selesai dibiasakan dalam masyarakat kita?
buktinya?
ya, lingkungan kita masih jorok-jorok selalu saja tuh....
yang fatal, ya...... Jakarta banjir hebat melulu itu....
padahal jika kebiasaan membuang sampah ditempatnya bisa dilakukan secara benar saja, saya yakin ia akan berkontribusi sangat besar terhadap pengurangan potensi banjir di Jakarta.
 
repotnya, ketika sampah dibuang ditempatnya,
dinas kebersihan DKInya tidak mengangkut dan mengosongkan tempat sampahnya secara teratur.
apa yang terjadi, menumpuk lagi deh sampahnya.....
atau tetap saya dibuangnya di tempat yang keliru.
 
bagaimana upaya pengelolaan sampah dengan membangun tempat pengolahan sampah?
hai! bukankah ini dulu dianggap sebagai pemborosan?????
sampai di demo begitu....
 
masih tentang membuang sampah di tempatnya ini tadi ya,
terpikirkankah bahwa dengan membuang sampah di tempatnya kita juga membantu memudahkan kerja pemuilung ?
maksudnya, bukankah pemulung2 itu akan lebih mudah bisa mengambi, memilah, mengumpulkanl sampah yang bisa diolah kembali (kertas, kaleng, plastik, beling) untuk ia jual?
karena bisa lebih banyak ia kumpulkan, karena kerjanya menjadi lebih efisien,
jika demikian, bukankah sebetulnya kita juga turut berperan aktif dalam upaya mengentaskan kemiskinan bangsa?
 
bayangkan,
hanya dengan membuang sampah di tempatnya!!!!!!
 
kesannya semuanya cuma tentang hal sepele dan kecil2 kan?
tetapi ketika semua orang di seluruh dunia ini melakukan hal yang sama beramai-ramai,
maka dampak mematikannya juga berlangsung lebih cepat dan mematikan bagi kita-kita juga....
 
kembali kepada soal penerapan pendidikan di rumah yang earth friendly itu yang bagaimana sih?
bagaimana orangtua bisa mengajarkannya kepada anak?nya.
jawab saya, mudah banget...........
beri contoh, beri pola hidup dan berperilaku yang demikian.
untuk itu siapa yang harus dididik duluan?
orangtuanya...
lalu setiap orang dewasa yang ada di rumah... terutama pembantu rumah tangga, pengasuh anak, supir, tukang kebun dll.
mengapa?
anak akan secara otomatis mengadopsi semua pola pikir tersebut, dan menjadikannya bagian dari value hidupnya yang lalu bakal tercermin dalam setiap perilakunya.
anak belajar dari apa yang ia lihat, dengar, rasakan, alami sejak di awal kehidupannya.
dan dalam hal ini, orangtua adalah figur yang paling signifikan sebagai rujukan anak belajar.
 
(menyambung dari pernyataan barusan, itu pula sebabnya, jika berhadapan dengan pribadi-pribadi yang "ajaib"  - apalagi yang "error", saya kerap mempertanyakan : ini orangtuanya seperti apa sih? bagaimana pola asuhnya? bagaimana pola berfikir dalam keluarganya? apakah ada pengalaman traumatis yang dialaminya, dll dsb...
dan biasanya, ke"ajaib"an yang sama itu memang bisa ditemukan dalam pohon keluarganya....)
 
balik lagi ya....
berarti seluruh aparat di rumah harus dididik kan?
untuk hal ini, jujur, sulit banget.....
mengapa?
titik berangkat, modal dasar kepintaran, kemampuan memahami, ketrampilan berkomunikasinya saja kan biasanya beda sekali dengan orangtua yang menjadi majikan mereka.
pertanyaannya, seberapa sanggup para majikan ini untuk telaten, tabah, konsisten, dan tega (seringkali dibutuhkan tingkat ketegaan tinggi lho untuk mencerdaskan staf rumah tangga) untuk membangun sebuah lingkungan yang kondusif dan ideal di rumah.
 
untuk hal yang ini saya tidak yakin kita memiliki cukupenergi, cukup waktu, cukup kapasitas untuk melakukannya.
mengapa?
1. sudah lelah. (kita bekerja seharian, pulang harus berantem lagi dengan pembantu, dengan anak? plissssssssssss deh)
2. males ribut. (terlalu bawel membuat pembantu tidak betah, kita juga yang bakalan repot. mana hare gene, susah banget bok, nemu pembantu yang oke! belum lagi, kita digosipin jelek2 oleh si pembantu....... sukur2 kalau malahan jadi ngetop, hehehehehe)
3. mentoq. (kitanya kok yang mentoq, karena kitanya memang tak mudheng, hehehehehe........ maaffffffffffffff.......!!!!!!)
 
karena emailnya sudah panjang banget, kusudahi dulu ya?
tentang mengapa kok ada kecenderungan berpola pikir pendek tadi, kapan2 di lanjut.... (mudah2an inget! hahahahaha....
maklum, embok2 sudah hampir menopause..... pelupa!)

 
On 1/8/08, tuhantu_hantuhan <tuhantu_hantuhan@yahoo.com > wrote:

Pengen nanya nih Mbak Ratih... Kemaren itu abis ngobrol dg Alexander dan Mas Anwar di sini, kami melihat bahwa masyarakat kita (atau Jakarta saja?) sarat dengan pola pikir jangka pendek dan pragmatis.

Nah, gimana tuh? Apakah karena kecerobohan orang tua mereka? Apakah karena mereka digiring untuk menggunakan kelenjar according to secara berlebihan, sehingga malas mikir, atau ada kemungkinan lain barangkali?... Kira-kira ... according to... Bude Tih, gimana tuh...

Be Fun

TuHanTu

http://hole-spirit.blogspot.com


--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, "ratih ibrahim" <personalgrowth@...> wrote:


>
> On 1/8/08, ratih ibrahim personalgrowth@... wrote:
>
> > ada beda tipis antara terlalu pintar, terlalu goblok dan terlalu gila...
> > tipisssssssssssssssssss......... sekali!
>
>
>
> melanjutkan email terdahulu, saya mengirimkan sebuah tulisan lagi di bawah
> ini.
> ini adalah bagian dari psikolog positif.
> untuk apa?
> untuk bahan kuliah dan pembekalan diri.
> mumpung saya lagi agak rajin online hari ini....
>
> maksud tulisan ini ?
> mengingatkan, bahwa penanganan yang keliru, apapun rasionalisasi yang
> menyertainya, tidak bakal berhasil membantu anak mengembangkan potensi
> kecerdasan dirinya secara benar, apalagi optimal...
> melainkan, bisa membuatnya jadi goblok....
> atau gila...
>
> ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
> Semua Anak Pintar : Sebuah tinjauan tentang Multiple Intelligences Di susun
> oleh Ratih Andjayani Ibrahim, Psikolog
>
>
>
>
> Anak itu Berharga Bagi orangtuanya anak itu penting. Ia sangat berharga.
> Ia sangat istimewa. Dan saya yakin, semua orangtua yang normal juga akan
> memiliki penghayatan yang demikian terhadap anak-anaknya. Intinya, bagi
> orangtua, anak adalah harta yang tak ternilai lantaran luar biasa
> berharganya. Karenanya, saya juga yakin bahwa setiap orangtua mengidamkan
> masa depan yang sangat baik untuk anak-anaknya. Tidak hanya mengidamkan
> tetapi juga berusaha keras agar bisa mengakomodasi segala kebutuhan untuk
> membuat anak mampu tumbuh secara optimal, sebagai individu yang hebat dan *
> happy[1]< http://mail.google.com/mail/?ui=1&ik=76845a1764&view=cv&search=inbox&th=117580d9e808de86&ww=1003&cvap=1&qt=&zx=tquuwlrno92#_ftn1>
> *. Dan hal ini, adalah sesuatu yang hingga saat ini saya yakini tentang
> relasi antara orangtua – anak.
>
>
>
> Bahkan ada seorang ahli pendidikan, John Gray Ph.D yang bilang bahwa
> "Anak-anak berasal dari Surga". Dan saya sangat setuju dengan pendapatnya! Anda
> pasti ingat bagaimana Anda dipenuhi sukacita yang sangat ketika mengetahui
> diri Anda atau pasangan Anda hamil. Dan memang betul, banyak orang yang
> percaya bahwa kehadiran anak-anak akan menggenapi kebahagiaan dalam sebuah
> keluarga. Dengan menjadi orangtua, pada dasarnya kita sebuah kehormatan
> besar, langsung dari Tuhan sendiri. Bagaimana tidak, jika berarti kita jadi
> terlibat secara langsung dalam karya penciptaan Allah? Jadi bayangkan betapa
> berharganya seorang anak. Ia dikirim langsung dari surga!
>
>
> Memesan Anak Kepada Tuhan
>
>
>
> Meski demikian, sekarang saya mengajak kita semua kembali ke masa awal
> sebelum anak-anak kita hadir. Coba ingat-ingat, pernahkah dulu kita berdoa,
> meminta diberi anak dengan kriteria tertentu? Ingin anak yang sehat, yang
> pintar, yang hebat, yang cakep, yang keren..... ingin anak lelaki, ingin
> anak perempuan, dst, dst.... Nah, kita memesan anak kepada Tuhan! Saya
> yakin, pesanan kita pasti yang bagus-bagus.... Lalu, apa yang terjadi pada
> saat si bocah betulan hadir? Mungkin sebagian dari kita menjadi begitu
> senang, sampai melupakan segala pesanannya. Yang penting pokoknya anaknya
> okelah. Atau ada yang kecewa, karena kok ternyata tidak sesuai amat dengan
> harapan kita. Apakah jangan-jangan Tuhan salah mengirimkan pesanan kita?
>
>
>
> Percayalah, Tuhan pasti tidak akan becanda untuk hal sepenting ini.
> Karenanya, saya juga yakin Tuhan tidak salah kirim. Masalahnya adalah cukup
> mampukah kita menerima si anak, dan memahami segala keistimewaan yang ia
> miliki.?
>
>
> * * *Successful Parents*
>
> * *
>
> Siapa sih yang tidak ingin berhasil dalam menjalankan perannya sebagai
> orangtua? Siapa yang tidak ingin punya anak-anak yang sehat, normal, dan
> pintar? Dan untuk itu orangtua juga ingin bisa membimbing anak-anaknya agar
> bisa tumbuh menjadi anak yang hebat. Untuk itu pula, maka biasanya para
> orangtua akan mengupayakan dengan sekuat tenaga agar bisa mengakomodasi
> segala harapan-harapan luhur bagi anaknya. Sayangnya, acapkali
> harapan-harapan
> yang baik tersebut kemudian berubah menjadi ambisi. Apalagi ketika kita
> mulai membandingkan anak kita dengan anak-anak lainnya. Bukan tidak mungkin
> ego kita jadi terusik. Lalu tanpa sadar kita mulai memasang standard tinggi
> untuk menjadikan anak kita menjadi "hebat" sesuai dengan versi yang kita
> punya, tanpa sungguh-sungguh mampu memahami keunikan dan kapasitas si anak.
> Hal ini bisa memicu frustrasi baik di anak maupun orangtuanya.
>
> Pertanyaannya sekarang, apakah anak kita memang pintar? Apakah anak kita

> hebat? Ya! Saya menjawab : YA !!! Semua anak pintar. Semua anak cerdas.
> Semua anak hebat. Tergantung apa definisi kita tentang hebat, cerdas dan
> pintar itu sendiri. Lalu kalau anak saya pintar, kenapa dia mentok di sana
> sini? Apa yang salah? Di mana yang keliru? Bagaimana menyikapinya?
>
>
>
> "Dosa "kita sebagai orangtua sebagaimana yang saya katakan sebelumnya
> adalah, kita sering tidak mampu memahami bahwa tidak ada satupun anak yang
> sama persis dengan anak lainnya. Ketika membandingkan anak kita dengan
> anak-anak lainnya, ego kita terusik. Kita ingin anak kita seperti anak lain.
> Kita ingin anak kita bisa lebih hebat dari anak yang lain. Misalnya, ketika
> anak-anak di sekitar kita beramai-ramai les biola, karena konon baik untuk
> mengoptimalkan kecerdasan, kita juga memaksa anak kita untuk ikut les biola.
> Dan lalu kita memaksa dia untuk berlatih biola supaya kalau bisa anak kita
> lebih mahir bermain biola dibandingkan teman-temannya. Atau, misalnya karena
> saat ini les bahasa Mandarin sedang jadi trend, anak kita pun kita ikutkan
> les bahasa Mandarin. Padahal tak satupun anggota di rumah yang berbahasa
> Mandarin. Belum lagi les-les yang lain-lain. Padahal, belum tentu segala
> kegiatan yang kita "paksakan" kepada anak itu cocok untuk anak.
>
>
>
> Setiap kali kita membaca buku tentang *parenting*, bertemu dengan para pakar
> perkembangan dan psikolog, biasanya kita diingatkan, bahwa setiap anak itu
> unik, istimewa dan berharga. Karena memang masing-masing anak memiliki
> karakteristiknya sendiri, bakatnya sendiri, keistimewaannya sendiri. Dan
> dalam hal ini peran orangtua dalam pendidikan anak adalah luar biasa
> penting. Di sekolah, peran tersebut diwakilkan kepada kepala sekolah –
> sebagai orangtua dari sebuah keluarga bernama sekolah, dan kepada guru –
> sebagai orangtua keluarga di kelas. James
> Stetson.[2]< http://mail.google.com/mail/?ui=1&ik=76845a1764&view=cv&search=inbox&th=117580d9e808de86&ww=1003&cvap=1&qt=&zx=tquuwlrno92#_ftn2>,
> mengatakan tentang orangtua yang berhasil sebagai berikut : *"Successful
> Parents realize that children grow up not when they can take care of
> themselves but when they can take care of others and want to." *Jadi, coba
> bayangkan betapa sebuah penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak kita
> bukanlah sebuah proses yang main-main. Ada sebuah tanggung jawab yang sangat
> besar di situ. Tidak hanya untuk si anak sendirian, melainkan untuk semua
> anak lainnya. Untuk seluruh bangsa dan masa depannya.
>
>
>
> Nah sekarang apa yang perlu kita lakukan bersama anak kita? Agar metode
> belajar – *learning[3]< http://mail.google.com/mail/?ui=1&ik=76845a1764&view=cv&search=inbox&th=117580d9e808de86&ww=1003&cvap=1&qt=&zx=tquuwlrno92#_ftn3>

> * yang kita selenggarakan bagi anak sesuai? Sehingga proses belajarnya bagi
> anak menjadi efektif? Dan agar efek dari belajar terjadi akan menguat?
>
>
>
>
> Mengidentifikasi Kecerdasan dan Bakat Anak
>
>
>
>
>
> Menjadi orangtua jelas bukan sebuah profesi yang mudah. Kita tidak pernah
> berskolah secara khusus untuk menjadi orangtua yang hebat. Kita belajar
> menjadi orangtua yang sebaik mungkin bisa kita upayakan dari seluruh
> pengalaman hidup kita, termasuk dari kesalahan-kesalahan yang kita lakukan.
> Namun saya sungguh percaya, bahwa pada dasarnya setiap orangtua sayang pada
> anaknya. Sehingga, jika dalam prakteknya "tanpa sengaja" terjadi
> kesalah-kesalahan dalam mengekspresikannya, saya yakin hal ini bukan
> lantaran si orangtua kurang mengasihi anaknya. Melainkan karena mungkin ia
> masih kurang mampu mengenali anaknya, untuk kemudian memahami si anak, lalu
> menemukan cara yang paling pas untuk bekerja bersama si anak.
>
>
>
> Saya katakan, bekerja bersama anak. Perhatikan kata : bersama anak. Sebuah
> pendidikan untuk anak tidak akan bisa berhasil, tanpa kerja sama dari anak.
> Untuk bisa berhasil sebagai orangtua kita harus mampu bekerja bersama anak.
> Dan untuk itu, selain kasih sayang, penghargaan dan penerimaan terhadap
> anak, kita juga perlu memahami sang anak, dengan segala kapasitas yang
> dimilikinya, karakter, bakat, potensi serta kecerdasannya..
>
>
>
> Cara yang paling umum dilakukan adalah orangtua membawa anaknya ke dokter
> anak, untuk mengenali segala yang berkaitan dengan perkembangan fisiologis
> anak. Lalu ke psikolog., untuk menggali segala potensi yang dimiliki anak,
> baik kecerdasan, minat, bakat dan karakteristik kepribadian anak. Dan yang
> terutama biasa diminta orangtua kepada psikolog adalah tes IQ. Mengapa?
> Karena tes IQ itu penting. Mengapa penting? Karena diminta oleh
> sekolah. Karena
> orangtua ingin tahu, agar bisa mengarahkan anak secara lebih tepat. Supaya
> bisa mengantisipasi keberhasilan maupun kegagalan anak di sekolah. Pokoknya
> IQ itu penting sekali.
>
>
>
> Ketika ditanya tentang apakah IQ? Maka secara umum IQ bisa dikatakan sebagai
> sebuah ukuran kecerdasan, kecepatan kita dalam berfikir, *intellectual
> skill.*[4]< http://mail.google.com/mail/?ui=1&ik=76845a1764&view=cv&search=inbox&th=117580d9e808de86&ww=1003&cvap=1&qt=&zx=tquuwlrno92#_ftn4>
> **
>
> * *
>
> * *

> Sebetulnya Kecerdasan itu Tunggal atau Majemuk – lebih dari satu?
>
> * *
>
> Pertanyaannya sekarang, adalah sebetulnya kecerdasan itu tunggal atau lebih
> dari satu sih? Jika hanya satu, mengapa ada berbagai aspek lain yang
> menonjol pada anak kita dan tidak pada anak lainnya? Apakah itu bukan
> manifestasi dari kecerdasan juga?
>
>
>
> Sampai saat ini masih sangat banyak dari kita yang mengira kecerdasan hanya
> ada satu. Yaitu kecerdasan inteletual. Kecerdasan intelektual, adalah
> kecerdasan yang terutama dibutuhkan di bangku sekolah. Kecerdasan yang ini
> akan diukur dan biasanya diberi nilai selama seorang anak mengenyam
> pendidikan di sekolah. Berdasarkan nilai yang diperoleh ia akan mendapatkan
> "label" sebagai anak yang pintar atau bukan. Dan biasanya, ada nilai dari
> mata pelajaran tertentu yang dipercaya bahwa secara signifikan ia
> berkorelasi dengan kecerdasan anak. Salah satunya adalah matematika. Yang
> terjadi kemudian adalah, kita jadi *over postioning* terhadap mata pelajaran
> yang satu ini. Bahkan kemudian juga terhadap mata pelajaran lain yang
> bersinggungan dengan matematika, yaitu fisika dan kimia. Kebetulan ketiganya
> merupakan mata pelajaran utama dalam kelompok bidang ilmu eksakta. Oleh
> karena itu kita kemudian mengira anak-anak yang mampu menggeluti bidang ilmu
> ini adalah anak-anak yang superior, lebih cerdas ketimbang anak-anak
> lainnya.
>
> Masalahnya sekarang, mana ada sih orangtua yang tidak kepingin anaknya
> termasuk kelompok anak-anak cerdas, anak-anak hebat itu.Mengapa? Karena alam
> bawah sadar kita percaya bahwa yang kuat yang menang. Yang superior akan
> lebih unggul. Yang lebih unggul akan lebih berhasil dalam hidup. Karenanya
> apa yang kemudian dilakukan? Masuk bidang eksakta lalu dijadikan tujuan.
> Kalau perlu anak dipaksa, dimotivasi, diberi les habis-habisan agar bisa
> jago dalam matematika, dan/atau masuk jurusan IPA.
>
> Adalah Howard Gardner yang kemudian membuka mata dunia, termasuk kita, bahwa
> ternyata kecerdasan tidak bersifat tunggal. Kecerdasan ada beraneka ragam.
> Dan setiap orang, juga anak, memiliki karakteristik kecerdasannya
> sendiri-sendiri. Kecerdasan pada setiap orang bersifat sangat subyektif,
> dengan kekuatannya sendiri-sendiri, pun variasinya sendiri-sendiri.
>
> *Siapakah Howard
> Garner[5]< http://mail.google.com/mail/?ui=1&ik=76845a1764&view=cv&search=inbox&th=117580d9e808de86&ww=1003&cvap=1&qt=&zx=tquuwlrno92#_ftn5>
> ?*
>
> *I want my children to understand the world, but not just because the world

> is fascinating and the human mind is curious. I want them to understand it
> so that they will be positioned to make it a better place. Knowledge is not
> the same as morality, but we need to understand if we are to avoid past
> mistakes and move in productive directions. An important part of that
> understanding is knowing who we are and what we can do... Ultimately, we
> must synthesize our understandings for ourselves. The performance of
> understanding that try matters are the ones we carry out as human beings in
> an imperfect world which we can affect for good or for ill.
> (Howard Gardner 1999: 180-181)*
>
>
>
> *Apakah yang dimaksud dengan "Multiple Intelligences"?*
>
> Pada mulanya Gardner mengindentifikasi kecerdasan kedalam 7 kecerdasan
> utama, yaitu :
>
> 1. Verbal/ Linguistic
>
> 2. Logical/Mathematical
>
> 3. Visual/Spatial
>
> 4. Bodily/Kinesthetic
>
> 5. Musical
>
> 6. Interpesonal
>
> 7. Intrapersonal
>
> *Linguistic intelligence* - melibatkan kepekaan terhadap *spoken* *
> language* dan *written language*, kemampuan untuk mempelajari bahasa-bahasa,
> dan kapasitas untuk menggunakan bahasa demi mencapai tujuan-tujuan tertentu.
> Termasuk juga kemampuan untuk secara efektif menggunakan bahasa untuk
> mengekspresikan dirinya secara *rhetorically* atau *poetically*; dan
> menggunakan bahasa sebagai sarana untuk mengingat informasi. *Writers* -
> penulis, *poets*, *lawyers* dan *speakers* adalah yang oleh Gardner dinilai
> memiliki kecerdasan linguistik yang tinggi.
>
> *Logical-mathematical intelligence* - mengacu pada kapasitas untuk
> menganalisa permasalahan secara logis, memecahkan perhitungan-perhitungan
> matematika, menelaah berbagai permasalahan secara ilmiah. Berdasarkan
> Gardner, yang termasuk di dalamnya adalah kemampuan untuk mendeteksi pola,
> menalar secara deduktif dan berfikir logis. Tipe kecerdasan demikian
> memiliki asosiasi yang kuat dengan ilmu pengetahuan dan pemikiran
> matematika.
>
> *Musical intelligence - * melibatkan ketrampilan yang dibutuhkan untuk
> tampil dalam sebuah pertunjukan, komposisi, dan apresiasi terhadap pola-pola
> musikal. involves skill in the performance, composition, and appreciation of
> musical patterns. Termasuk di dalamnya kapasitas untuk mengenali dan membuat
> komposisi musik dari *pitches*, *tones*, dan *rhythms* – irama. Menurut
> Howard Gardner musical intelligence secara struktural bersejajar dengan
> linguistic intelligence.
>
> *Bodily-kinesthetic intelligence* - membutuhkan potensi untuk menggunakan
> seluruh atau sebagian dari tubuh untuk mengatasi masalah - *to solve
> problems*. Yang merupakan *bodily-kinesthetic intelligence* merupakan
> kemampuan untuk menggunakan kemampuan mental untuk mengkoordinasikan
> gerakan-gerakan tubuh. Dalam hal ini Gardner melihat bahwa aktivitas mental
> dan fisik ternyata saling berhubungan..
>
> *Spatial intelligence - *melibatkan potensi untuk mengenali dan
> menggunakan pola ruang dalam lingkup ruang yang luas maupun yang terbatas.
>
> *Interpersonal intelligence* - memperhitungkan kapasitas yang dimiliki
> untuk memahami intensi, motivasi, hasrat dari orang lain. Empati. Ia
> memungkinkan orang untuk bisa bekerja secara efektif dengan orang
> lain. Pendidik
> – *educators*, *salespeople*, *religious*, *political leaders* dan *
> counsellors* adalah mereka yang membutuhkan *a well-developed interpersonal
> intelligence*.
>
> *Intrapersonal intelligence* - membutuhkan kapasitas untuk bisa memahami
> diri sendiri, untuk menghayati dan menghargai perasaan, ketakutan, harapan
> dan motivasi diri sendiri. Menurut Howard, *Intrapersonal*
> *intelligence* melibatkan
> kemampuan untuk secara efektif bekerja dengan diri sendiri, dan sanggup
> mengatur diri sendiri.
>
> Di luar 7 kecerdasan yang dijelaskan di atas, ternyata masih ada
> bentuk-bentuk kecerdasan tambahan lainnya, yang saling berkaitan dan
> mendukung terbentuknya kecerdasan yang lainnya, yaitu :
>
> - naturalistic intelligences
> - spiritual intelligences
> - existential intelligences
> - moral intelligences
>
> *Naturalistic intelligences *memungkinkan manusia untuk mengenali, membuat
> kategori – pengelompokkan, dan menggambarkan beraneka macam keistimewaan
> yang ada di lingkungannya. Kecerdasan ini menggabungkan antara gambaran
> tentang kemampuan dasar manusia dengan karakter-karakter peran dalam
> berbagai nilai budaya.
>
> *Bagaimana cara mengidentifikasi kecerdasan yang ada pada saya?*
>
> Setelah lebih memahami betapa berbedanya kecerdasan yang kita punya, bahwa
> setiap orang memiliki perbedaan individual yang sangat unik, kita jadi ingin
> tahu bagaimana mengidentifikasinya bukan? Ada beberapa cara yang bisa
> dilakukan. Diantaranya adalah mengobservasi diri sendiri secara lebih
> cermat. Kita juga bisa meminta masukan dari orang lain yang bisa dipercaya.
> Selain itu kita bisa mencoba menjawab beberapa
> kuis[6]< http://mail.google.com/mail/?ui=1&ik=76845a1764&view=cv&search=inbox&th=117580d9e808de86&ww=1003&cvap=1&qt=&zx=tquuwlrno92#_ftn6>sederhana

> yang bertujuan mengukur
> *multiple intelligences* kita. Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa jujur
> kita mengamati diri kita sendiri dan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan
> tersebut. Mungkinkah ada harapan-harapan bawah sadar yang terikut di situ,
> sehingga mempengaruhi kualitas jawaban kita?
>
> Nah, hal yang sama juga terjadi pada anak kita. Tentu semakin muda usia anak
> akan semakin sulit bagi dia untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam kuis.
> Pun untuk mencermati dirinya sendiri. Kitalah yang harus melakukannya bagi
> si anak. Tetapi sekali lagi, apakah kita mampu sungguh-sungguh peka dan
> jujur dalam mengamati maupun menjawab kuis tersebut untuk anak?
>
> Mengapa penting untuk bisa mendeteksi kecerdasan anak sejak dini adalah
> agar, mudah-mudahan kita bisa pas dalam membantu anak mengembangkan dirinya
> secara lebih sesuai dengan karakteristik yang ia miliki, dan tentunya juga
> lebih optimal.
>
> *Setelah teridentifikasi, lalu apa?*
>
> Sangat penting kita sadari bahwa mengenali MI itu bukan tujuan. MI adalah
> sarana untuk mengenal anak dan seluruh kapasitas potensinya secara lebih
> baik. Setelah memperoleh hasilnya, kita akanmelihat variasi-variasi
> kecerdasan yang ada pada anak. Pertanyaan sekarang, adalah apa yang bisa
> saya lakukan untuk membantu anak berkembang?
>
> Menurut Gardner ada hal-hal yang dibutuhkan untuk membantu mengembangkan MI
> pada anak-anak kita, sebagai berikut :
>
> 1. *Culture: support for diverse learners and hard work. * Acting on a
> value system which maintains that diverse students can learn and succeed,
> that learning is exciting, and that hard work by teachers is necessary.
>
> 2. *Readiness: awareness-building for implementing MI. *Building staff
> awareness of MI and of the different ways that students learn.
>
> 3. *Tool*: MI is a means to foster high quality work. Using MI as a
> tool to promote high quality student work rather than using the theory as an
> end in and of itself.
>
> 4. *Collaboration*: informal and formal exchanges. Sharing ideas and
> constructive suggestions by the staff in formal and informal exchanges.
>
> 5. *Choice*: meaningful curriculum and assessment options. Embedding
> curriculum and assessment in activities that are valued both by students and
> the wider culture.
>
> 6. *Arts*. Employing the arts to develop children's skills and
> understanding within and across disciplines.
>
>
>
> *Bagaimana cara menyelenggarakannya?*
>
> Nah, untuk hal yang terakhir ini, adalah tugas kita untuk bersama-sama, juga
> bersama anak, untuk menemukannya.
>
>
> -o0o-
> ------------------------------
>
> [1]< http://mail.google.com/mail/?ui=1&ik=76845a1764&view=cv&search=inbox&th=117580d9e808de86&ww=1003&cvap=1&qt=&zx=tquuwlrno92#_ftnref1>Steve
> Biddulph,1998, The Secret of Happy Children, Harper Collins Publishers
>
> [2]< http://mail.google.com/mail/?ui=1&ik=76845a1764&view=cv&search=inbox&th=117580d9e808de86&ww=1003&cvap=1&qt=&zx=tquuwlrno92#_ftnref2>A
> School Principal and Author, in Andrew Mullins, 2005. Parenting for
> Character. Equipping Your Child for Life.
>
>
>
> [3]< http://mail.google.com/mail/?ui=1&ik=76845a1764&view=cv&search=inbox&th=117580d9e808de86&ww=1003&cvap=1&qt=&zx=tquuwlrno92#_ftnref3>Norman
> A. Sprinthall, Richard C. Sprinthall, 1990. Educational Psychology –
> A Development Approach. 5th edition. Mac Graw-Hill Publishing Company.
>
>
>
> *Learning referring to a process that leads to a relative permanent change
> in behavior resulting from past experience. Thus such activities as
> acquiring physical skills, memorizing poems, acquiring attitudes and
> prejudices or even tics and mannerisms are all examples of learning.
> Learning may be conscious or unconscious, adaptive or maladaptive, overt or
> covert. Although the learning process is typically measured on the basis of
> a change in performance, most psychologists agree that an accompanying
> change occurs within the nervous system. Though there are a great many
> theories and explanations concerning learning, there is general agreement
> regarding its definition.*
>
> * *
>
> [4]< http://mail.google.com/mail/?ui=1&ik=76845a1764&view=cv&search=inbox&th=117580d9e808de86&ww=1003&cvap=1&qt=&zx=tquuwlrno92#_ftnref4>
> Ken
> Russell & Philip Carter, 1999. Test Your IQ, Foulsham The Publishing House.
>
> * *
>
> *IQ is the abbreviation for Intelligence Quotient. The dictionary definition
> of quotient is 'the number of times one quantity is contained within
> another'. The definition of intelligence is 'intellectual skill', 'mental
> brightness', quick of mind'.*
>
> * *
>
> *When measuring the IQ of a child, the child would attempt an intelligence
> test which had been given to thousands of children, and the results
> correlated so that the average score had been assessed for each age group.*
>
> [5]< http://mail.google.com/mail/?ui=1&ik=76845a1764&view=cv&search=inbox&th=117580d9e808de86&ww=1003&cvap=1&qt=&zx=tquuwlrno92#_ftnref5>Lihat
> dalam "Short Biography of Howard Gardner"
>
> [6]< http://mail.google.com/mail/?ui=1&ik=76845a1764&view=cv&search=inbox&th=117580d9e808de86&ww=1003&cvap=1&qt=&zx=tquuwlrno92#_ftnref6>
> Lihat
> "Self Quiz"
>



__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

new professional

network from Yahoo!.

Y! Messenger

Instant hello

Chat in real-time

with your friends.

Yahoo! Groups

Parenting Zone

Share experiences

with other parents.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: