Minggu, 09 Maret 2008

[psikologi_transformatif] Re: INTERSTANDING HUMAN BEING

Good...

Manteb Bro Audifax...! Tulisan anda kali ini sangatlah jelas. Memang
banyak sekali secara kolektif, simbol-simbol yang bisa dijadikan bahan
sebagai stigma. Kita hidup di masyarakat Indonesia ini sepertinya
telah terberi sangkar-sangkar stigma.

Pengawasan (dari) masyarakat melekat...begitulah saya mengistilahkannya.

Salam,
Adhi Purwono.

--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, audifax -
<audivacx@...> wrote:
>
> Interstanding Human Being
>
>
>
>
> Oleh:
> Audifax
> Staf Peneliti di SMART Human Re-Search & Psychological Development
>
>
>
>
> Stigma adalah penyederhanaan terhadap proses pengenalan
terus-menerus terhadap Liyan (Yang-Lain). Proses itu disederhanakan
ke dalam suatu finalitas definisi. Kebaruan yang terus-menerus dari
Liyan bukan diapresiasi sebagai keindahan melainkan ancaman yang harus
dihentikan. Hambatan dinamika persentuhan sosial terjadi lewat stigma.
Ketika kita mencoba mengenal Orang-Lain [Liyan] dengan pertama-tama
mengategorikan sebagai anggota kelompok dengan stigma, seperti:
Muslim, Kristen. Keturunan Cina, Bonek dan sebagainya, maka seperti
dianalisis oleh Elias Canetti, selalu ada rasa takut untuk bersentuhan
[Berührungsangst] yang mewarnai setiap fase pengenalan.
> Sebelum saya bicara lebih jauh, ada sebuah contoh kasus menarik
yang saya ambil dari sebuah milis alumni milik sebuah Fakultas
Psikologi ternama di Surabaya. Bermula dari perdebatan yang saya rasa
banyak terjadi di sejumlah fakultas dengan disiplin tertentu, yaitu
soal marka berpakaian [menggunakan krah, bersepatu dan sejenisnya]
lalu muncul sebuah argumen menarik dari Hari K. Lasmono, satu-satunya
profesor di Fakultas Psikologi tersebut. Bagi saya, perdebatan tentang
marka berpakaian itu hal yang biasa, tetapi cara Sang Profesor
mengargumentasikan pentingnya berpakaian menggunakan krah dan sepatu
bisa kita jadikan renungan lebih jauh untuk kita membahas mengenai
keterbukaan terhadap pluralitas atau keterbukaan terhadap Yang-Lain.
Simak pernyataan beliau (bold saya lakukan pada bagian penting):
> Ruuuuaaar biasa, ini baru buah pendapat yang segar dan akomodatif,
dan sangat bijak!!!!!!!! Apalagi keluar dari pikiran-pikiran yang
masih muda belia! Bravooooo! Saluuuuut setinggi-tingginya kepada kaum
muda tetapi berpikiran bijak dan tidak larut dan hanyut dengan
pendapat yang sok hueeebat, sok paling tahu memaknai ekspresi cara
berpakaian orang, sok pejuang HAM, apalagi mengandung fitnah
seolah-olah ada aturan di UBAYA yang mengaitkan intelektualitas atau
kualitas seseorang atau apalah namanya dengan cara berpakaian dan
bersepatu. Saya cari-cari di peraturan-peraturan UBAYA sampai
berlama-lama, koq nggak menemukan ada pimpinan UBAYA yang
mengait-ngaitkan kedua masalah itu, lhaaa koq ada pendapat yang
menuduh begitu? Apa itu bukan tergolong fitnah?????? Saya sebenarnya
pengen tanya pada "pakar kemanusiaan ---entah siapa yang
berkualifikasi atau merasa begitu:
>
>
> 01.kalau ada sdr kita dari Papua sekolah di Fapsi lalu pengan
pakai pakaian adatnya dengan koteka dan yang perempuan no-bra, apa ya
kita biarkan???????? Apa tidak kita ajak untuk sementara memakai
busana seperti yang lain selama di UBAYA, kemudian kalau kembali
mengabdi di daerahnya baru memakai pakaian adatnya kembali?????
>
>
> 02. Bila kita diundang makan bersama seorang sahabat yang
menyediakan sendok dan garpu, pada hal kita biasa muluk (menyuap
makanan ke mulut dengan telapak tangan) di rumah, apa kita ya
demonstratif memaksa muluk di rumah sahabat itu? Demikian sebaliknya,
kita diundang keluarga yang tak pernah memakai sendok, apa kita
menuntut sendok dan garpu yang tak dimiliki keluarga tersebut karena
kita "tak biasa" makan dengan muluk???????????etc.etc.
>
>
> Masalahnya sebenarnya sederhana saja (seperti telah diungkapkan
teman-teman muda di bawah): "menghormati tuan/nyonya rumah" Apa
sesulit itukah????? Apa ilmu psikologi mengajarkan: Harus selalu
berani menentang? Harus menunjukkan kebebasan ekspresi diri dengan
segala cara???? Rasanya koq tidak. Tentu ada saja nanti yang bertanya:
kalau tamu diminta menghormati aturan tuan rumah, kenapa tuan rumah
tidak menghormati tamu, yang pakai koteka keq, yang pamer pusar keq,
yang pakai sandal keq, yang pamer lutut keq, yang pamer ini , pamr
itu, pokoknya yang pamer ke-aku-annya itu, itu 'kan hak asasinya, apa
kaitannya dengan ilmu, apa kaitannya dengan nilai-nilai kemanusiaan,
yang penting kan batinnya, pakaian sejelek apapun yang penting 'kan
hatinya yang putih bersih? Apa pakaian rapi berdasi menjamin hati yang
bersih, buktinya para penjahat, para koruptor berpakaian bersih tetapi
hatinya justru busuk dsb dsb dsb.
>
>
> Kita tunggu aja, pasti akan hujan makian, olok-olok, sindiran en
sebagainya. Demi FPsi dan UBAYA tercinta (karena aturan itu bukan dari
dekanat tetapi dari UBAYA) saya rela koq dihujani "sampah"
pendapat-pendapat yang (sok) pinter-pinter dan sok menggurui itu.
>
>
> Maaf adik-adik bijak, agak ngalor ngidul, en saya belum mampu
mewarisi kebijakan dan kematangan sikap dan kata-kata kalian, maklum,
udah pikun, hehehe.i
>
>
>
> Di situ ada sesuatu yang menarik, yaitu bagaimana Hari Lasmono
mengekstrimkan situasi dengan menghadirkan contoh yang tak ada di
komunitas yang tengah berdebat soal marka berpakaian itu, yaitu `Orang
Papua'. Apa salahnya orang Papua hingga ia perlu dihadirkan sebagai
contoh yang perlu `dinormalkan' dalam masalah yang bukan urusan mereka?
> Saya sendiri ragu jika profesor Hari K Lasmono dengan kejernihan
etis `Cogito Ergo Sum'-nya, mau berinisiatif menggunakan koteka jika
suatu ketika datang ke Papua. Tapi terlepas dari itu, cara
berargumentasi dengan menghadirkan contoh `Orang Papua' [yang tentu
saja menjadi Yang-Lain dari Kami-Yang-Sama di UBAYA] adalah sebuah
penghadiran hirarki penampilan yang menempatkan Orang Papua pada
posisi Yang-Lain yang tak pantas menampilkan kelainannya di hadapan `Aku'.
> Melalui contoh kasus di atas, kita akan mencoba memahami lebih
jauh bagaimana Yang-Sama tak memiliki keberanian untuk menyelami
Liyan. Dalam Kami-Yang-Sama, Aku tak mengenali Liyan dalam
singularitas sebagai Sari, Diaz, Regy, melainkan sebagai sesuatu yang
telah Aku totalisasi dalam kesamaannya melalui stigma: Papua, Muslim,
Kristen, Cina, dan lain-lain.
> Stigma menghalangi singularitas untuk meng-Ada bersama dalam
paradigma "Kita" karena dalam pengenalan berdasar stigma ada rasa
takut bersentuhan yang diawetkan dan diperbesar hingga mencapai titik
implikasi untuk mengekslusi Yang-Lain dari "Kami" dengan cara
menjadikannya "Mereka". Yang terstigma lantas dianggap bukan orang
normal karena berbeda dari `Kami yang sama'. "Mereka" memang ada di
antara "Kami", tetapi "Mereka" bukan "Kami" dan tak akan pernah
menjadi "Kita".
> Goffman menjelaskan "Seorang pribadi dengan sebuah stigma, tidak
sepenuhnya manusiawi. Dalam kondisi ini kita membuat banyak
diskriminasi untuk mengurangi peluang hidupnya secara efektif,
termasuk ketika kita tidak sengaja melakukan itu. Ketika kita menyusun
sebuah teori tentang stigma, maka saat itu ada sebuah ideologi yang
menjelaskan inferioritasnya dan yang membuktikan bahaya orang yang
distigmatisasi itu". Lalu, Yang-Terstigma akan dilecehkan di jalan,
menjadi objek kebencian, dianggap sebagai sumber kesalahan dan
seterusnya. Di dalam stigma tidak hanya ditanamkan undangan untuk
menghina, tetapi juga phobia, karena yang terstigma dipersepsi sebagai
ancamanii.
> Menyentuh Yang-Terstigma, bisa dianggap menodai kemurnian. Suara
mereka tidak hanya diabaikan dan dianggap non-sense, melainkan juga
dipandang mengancam keutuhan kolektif. Tentu saja aliran-aliran
politis, haluan fundamentalisme agama, rasisme dan berbagai kelompok
yang tak menghargai pluralitas, tahu persis bagaimana menggunakan
stigma untuk menjatuhkan orang atau kelompok tertentu. Stigma lalu
dapat menjelaskan mengapa manusia mampu membunuh sesamanya tanpa rasa
salah, bahkan dengan rasa bangga dan ekstasis.
> Kita sering bicara pluralitas dengan mengedepankan hal-hal besar
dalam jargon seperti: `Bhinneka Tunggal Ika', `Bersatu kita teguh
bercerai kita runtuh', 'Dari Sabang sampai Merauke berjajar
pulau-pulau sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia' dan
sejenisnya. Namun, melalui contoh kasus yang saya angkat di atas,
tidakkah dalam sesuatu yang lebih sederhana dan keseharian sebenarnya
banyak orang yang masih sulit memandang perbedaan yang merentang dari
Sabang sampai Merauke? Bahkan tidakkah ironis ketika saya hadirkan
contoh yang justru terjadi di Fakultas yang mengajarkan understanding
human being?
> Tidakkah di dalam kondisi ini kita perlu sebuah ruang di mana kita
tahu sama tahu perbedaan tapi tetap bisa merasa sebagai sesama warga?
> Tidakkah kita perlu mentransformasi psikologi yang understanding
human being agar tidak semena meletakkan human being pada posisi under
dari titik di mana aku standing?
> Tidakkah pada situasi ini justru bukan understanding melainkan
interstanding human being?
>
>
>
> Bagaimana cermatan anda?
>
>
>
>
>
>
> iCATATAN-CATATAN
>
>
>  Hari K. Lasmono; (2005); RE: [alumni_psiubaya] Sharing
pengalaman; retrieved 10 November 2006 pukul 16.45 WIB; available at:
http://groups.yahoo.com/group/alumni_psiubaya/message/646
>
> ii Frans Budi Hardiman; (2005); Memahami Negativitas—Diskursus
tentang Massa, Teror, dan Trauma; Jakarta: Kompas; hal. 12-13
>
>
>
>
>
>
>
>
> Tentang Penulis
> Audifax adalah penulis dan peneliti. Dua hasil penelitiannya
diterbitkan oleh penerbit Jalasutra, yaitu Mite Harry Potter (2005,
Jalasutra) dan Imagining Lara Croft (2006, Jalasutra). Bukunya yang
lain adalah Semiotika Tuhan (2007, Pinus Book Publisher).
>
>
> Pada April 2008 ini akan terbit buku Psikologi Tarot yang
ditulisnya bersama Leonardo Rimba. Buku ini akan diterbitkan oleh
Pinus Book Publisher.
>
>
> Saat ini Audifax menjabat research director di SMART Human
Re-Search & Psychological Development. Sebuah lembaga yang memiliki
concern pada riset dan pengembangan psikologi yang mengajarkan
pluralitas sejak usia dini. Informasi lebih lanjut, hubungi: SMART
Human Re-Search & Psychological Development, Jl. Taman Gapura G-20
(kompleks G-Walk) Citraland – Surabaya. Telp. (031) 7410121, Fax
(031) 7452572, e-mail: smart.hrpd@...
>
>
> Audifax mengundang anda untuk mendiskusikan esei ini di milis
Psikologi Transformatif. Jika anda memiliki concern terhadap tema
yang ada pada esei ini, mari bergabung dengan kita yang ada di milis
Psikologi Transformatif
>
>
> Sekilas Mailing List Psikologi Transformatif
> Mailing List Psikologi Transformatif adalah ruang diskusi yang
didirikan oleh Audifax dan beberapa rekan yang dulunya tergabung
dalam Komunitas Psikologi Sosial Fakultas Psikologi Universitas
Surabaya. Saat ini milis ini telah berkembang sedemikian pesat
sehingga menjadi milis psikologi terbesar di Indonesia. Total member
telah melebihi 2000, sehingga wacana-wacana yang didiskusikan di
milis inipun memiliki kekuatan diseminasi yang tak bisa dipandang
sebelah mata. Tak ada moderasi di milis ini dan anda bebas masuk atau
keluar sekehendak anda. Arus posting sangat deras dan berbagai wacana
muncul di sini. Seperti sebuah jargon terkenal di psikologi "Di mana
ada manusia, di situ psikologi bisa diterapkan" di sinilah jargon
itu tak sekedar jargon melainkan menemukan konteksnya. Ada berbagai
sudut pandang dalam membahas manusia, bahkan yang tak diajarkan di
Fakultas Psikologi Indonesia.
>
>
> Mailing List ini merupakan ajang berdiskusi bagi siapa saja yang
berminat mendalami psikologi. Mailing list ini dibuka sebagai upaya
untuk mentransformasi pemahaman psikologi dari sifatnya selama ini
yang tekstual menuju ke sifat yang kontekstual. Anda tidak harus
berasal dari kalangan disiplin ilmu psikologi untuk bergabung sebagai
member dalam mailing list ini. Mailing List ini merupakan tindak
lanjut dari simposium psikologi transformatif, melalui mailing list
ini, diharapkan diskusi dan gagasan mengenai transformasi psikologi
dapat terus dilanjutkan. Anggota yang telah terdaftar dalam milis ini
antara lain adalah para pembicara dari simposium Psikologi
Transformatif : Edy Suhardono, Cahyo Suryanto, Herry Tjahjono, Abdul
Malik, Oka Rusmini, Jangkung Karyantoro,. Beberapa rekan lain yang
aktif dalam milis ini adalah: Audifax, Leonardo Rimba, Nuruddin
Asyhadie, Mang Ucup, Goenardjoadi Goenawan, Ratih Ibrahim, Sinaga
Harez Posma, Prastowo, Prof Soehartono
> Taat Putra, Bagus Takwin, Amalia "Lia" Ramananda, Himawijaya, Rudi
Murtomo, Felix Lengkong, Hudoyo Hupudio, Kartono Muhammad, Helga
Noviari, Ridwan Handoyo, Dewi Sartika, Jeni Sudarwati, FX Rudy
Gunawan, Arie Saptaji, Radityo Djajoeri, Tengku Muhammad Dhani Iqbal,
Anwar Holid, Elisa Koorag, Lan Fang, Lulu Syahputri, Kidyoti,
Alexnader Gunawan, Priatna Ahmad, J. Sumardianta, Jusuf Sutanto,
Stephanie Iriana, Yunis Kartika dan masih banyak lagi
>
>
> Perhatian: Milis ini tak ada moderator yang mengatur keluar masuk
member. Setiap member diharap bisa masuk atau keluar atas keputusan
dan kemampuan sendiri.
>
>
> Jika anda berminat untuk bergabung dengan milis Psikologi
Transformatif, klik:
>
>
> www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif
>
>
>
> ---------------------------------
> Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.
>

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Find great recruits

for your company.

Curves on Yahoo!

Share & discuss

Curves, fitness

and weight loss.

Dog Groups

on Yahoo! Groups

Share pictures &

stories about dogs.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: