Sabtu, 27 Oktober 2007

[psikologi_transformatif] Re: Psikologi ala Pak Jusuf Sutanto - Bagian 2

Terima kasih atas sharingnya, Pak. Saya sambung ya:

> Kita menerima lulusan SMU sebagaimana adanya, terbiasa belajar dengan hanya mencatat - menghafal spy kalau ujian bisa lulus. Kalau mutu semacam ini lalu diisi dengan informasi mengenai derivat2 ilmu psikologi saja, maka biasanya sesudah lulus, sdh tidak berminat lagi untuk belajar karena motivasinya memang hanya untuk dapatkan ijazah.

> Yang saya kerjakan adalah membuka cakrawalanya betapa luas dan menantangnya ilmu psikologi, namun hanya bisa dijawab oleh mereka yang mau terus menerus belajar.

Saya garis bawahi tulisan Bapak: "namun hanya bisa dijawab oleh mereka yang mau terus menerus belajar"

Inilah kenyataan dalam sistem pendidikan dasar kita, pelajar dibiasakan mencatat dan menghafal. Akibatnya, harapan mereka ketika kuliah pun adalah mencatat and menghafal. Jika kita menggunakan pendekatan lain, misalnya seperti yang Bapak contohkan, maka saya yakin yang mau berusaha dan berhasil adalah mereka2 yang mau terus menerus belajar ;-).

Sisanya? Lebih besar kemungkinan untuk berhenti dan cari fakultas lain saja daripada mendapatkan pencerahan :) Alasannya? Kuliah kok nggak jelas tujuannya apa :)

Apa yang Bapak jabarkan itu bukan hal baru. Saya tahu ada beberapa dosen di fakultas psikologi (rata2 dosen muda berusia kurang dari 40thn) yang melakukannya. Simulasi seperti yang Bapak jabarkan itu sudah diterapkan belasan thn lalu oleh beberapa dosen. Kajian pop-culture seperti yang Bapak ajukan itu sudah muncul sejak belasan tahun lalu. Media email, milis, bahkan blog dan Y!M sudah digunakan beberapa dosen muda untuk sarana mengajar, konsultasi, dan memberikan bimbingan :)

Hasilnya? Hanya mereka yang mau belajar yang antusias mengikuti program seperti ini. Di fakultas tersebut, cukup berimbang jumlah mahasiswa yang kemudian memilih dosen lain (untuk mata kuliah yang sama) yang menggunakan pendekatan konservatif. Itu karena mereka punya pilihan dosen lain. Kalau mereka tidak punya pilihan dosen lain, seberapa besar probabilitasnya mereka tidak memilih fakultas lain? Fakultas yang bisa menjawab dengan lebih gamblang tentang: jika lulus, dapat ijazah, bisa melamar kerja sebagai apa?

Ini yang saya katakan pada Bapak: mungkin Bapak sangat mengerti tentang minyak, tapi ketika bicara tentang air, tampak bahwa Bapak belum selesai menggali sumur ;)

Saya rasa sungguh terlambat jika cara seperti ini baru diterapkan di perguruan tinggi. Lebih tidak efektif lagi ketika hanya diterapkan di bidang tertentu. Didikan seperti ini harusnya diterapkan pada tingkat pendidikan dasar, sehingga ketika seseorang masuk ke lingkungan universitas dia tidak akan terjebak menjadi sekedar "kolektor ilmu". Karena cara berpikirnya sudah berkembang dan siap untuk mau terus belajar tidak dibatasi jumlah tatap muka di kelas saja ;)

Dan benarkah dengan internet kita bisa mengarahkan mahasiswa bahwa "kita tidak dibatasi oleh besaran SKS, karena dengan adanya internet, kita bisa komunikasi tujuh hari seminggu dan 24 jam sehari dikurangi waktu tidur saja" ;)? Apakah semua mahasiswa mampu membayar internet 7x24 jam seminggu ;)? Jika mahasiswa dan dosen punya anggaran/fasilitas internet gratis seperti beberapa universitas di luar Indonesia sih iya :) Tapi untuk situasi Indonesia sekarang ini, apa yang Bapak katakan ini masih di awang2. Boro2 membayar akses internet 7x24 jam seminggu.. lha wong yang mau bayar kuliah saja sering terbentur masalah biaya ;).

Workshop intensif sih boleh2 saja :) Namun untuk sampai pada workshop seperti itu, mungkin sebaiknya dimulai dengan pemikiran yang lebih matang terlebih dahulu :)

> Memang benar pendapat anda seperti dikatakan oleh Konfusius ketika ditanya tujuan hidup manusia . Ia menjawab , belajar sampai mati menjadi manusia.
>
> Caranya bagaimana ? apakah dengan membaca buku2 tebal ?
> Diaa mengatakan : kalau pisau baru bisa berguna setelah diasah dengan batu pengasah, maka manusia harus diasah dengan manusia. Inilah Kearifan Sunda silih asah-asuh-asih !

Mengasah manusia dengan manusia boleh2 saja. Tapi mengasah manusia tanpa membekalinya dengan persiapan sama dengan menyuruhnya bunuh diri :) Benar2 misi survival of the fittest saja :)

Apakah membaca buku tebal tidak ada gunanya? Sebelumnya kita sudah sepakat, bukan, bahwa yang utama adalah mengerti keseluruhan, bukan menghafal ayat, namun ayat harus juga dibaca untuk mengerti keseluruhan. Naah.. fungsi membaca buku tebal ini seperti membaca ayat. Itu modal/persiapannya untuk "mengasah" diri dengan manusia lain. Kalau kemudian seseorang memilih berhenti pada sekedar membaca buku tebal saja, tidak menggunakannya sebagai senjata untuk saling mengasah dengan manusia lain, ya kalau saya bilang sih itu pilihan sendiri. Bukan salah pendidikan di perguruan tinggi :) Setidaknya, kesalahan mungkin lebih banyak di parenting style atau gaya pendidikan formal dasarnya :)

Salam,

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Y! Messenger

Instant hello

Chat over IM with

group members.

Popular Y! Groups

Is your group one?

Check it out and

see.

Real Food Group

Share recipes,

restaurant ratings

and favorite meals.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: