Kamis, 25 Oktober 2007

Re: [psikologi_transformatif] Re: Berita Kompas-Senin, 22 Oktober 2007: Biaya Mahal, Pansel Amatiran

ayayaiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii..............
tong!!!!!!!!!!!!!
aye mah mane tahuuuuuuuuuuuuu........
gile aje luh,
nyama2in kisah ngefans tetangga elu sama Istiani...
baek2 jadi jambu monyet luh....
 
bude Tih
*sambil mengacungkan bakiak.................tandem, yang biasa dipake buat racing pas 17 agustusan itu lohhhh...*

 
On 10/24/07, entong eneng <entong.eneng@gmail.com> wrote:


bude,
entong liat-liat nih, ape ceritenye rade mirip ama mpok lela tetangge entong
nyang jande, nyang demen banget ama bang salim yang bujangan gituh


Pada tanggal 24/10/07, ratih ibrahim <personalgrowth@gmail.com > menulis:

maksud tersirat Istiani?
ah Harez, pake nyindir begini....
 
maksud Istiani adalah untuk mbelain Vincent Liong, nyalahin yang "mbenerin" Vincent Liong.....
mengingat tingkat "kejinakan" dan "ketenangan" Vincent yang lumayan belakangan ini (meski tetap gila)  *duhh.... gue ini cuma seorang bude2 dan bosen banget deh jika harus menggunakan bahasa2 indah untuk mengemas kegilaan Vincent Liong*,
rasanya saya nyaris teryakinkan, hubungan asmara Istiani dan Vincent bersambung kembali....
meski mereka bilang = hubungan profesional doang...
 
mungkin Istiani sebetulnya juga masih tetap kecanduan Vincent...
 
bude Tih

 
On 10/23/07, sinagahp <sinagahp@yahoo.com> wrote:

--- In Komunikasi_Empati@yahoogroups.com, Cornelia
Istiani < istiani_c@...> wrote:

Dengan membaca berita di bawah ini...
masihkah perlu "mbenerin" VCL ??!!
masihkah perlu "kill and destroy Kim Il Sen" ??!!

atau sebenarnya "perang" ini hanya sebuah gambaran
dari ketidakmampuan diri sendiri atas kondisi yang
ada....dan ketidakmampuan "mbenerin" profesi
sendiri???....

selamat membaca....

salam,
Istiani


harez:

Apa yang dibahas oleh Swas sebenarnya sudah cukup jelas. Saya hanya mau menambahkan beberapa hal.

1. Proses Seleksi biasanya terdiri dari sejumlah tahap. Setahu saya, demikian juga pada proses seleksi yang dikritisi pada tulisan di Kompas tersebut.

2. Salah satu tahap yang umumnya ada dalam proses seleksi adalah pemeriksaan psikologis (lebih dikenal dengan psikotes).

3. Pemeriksaan psikologis dapat dilakukan secara internal oleh anggota tim (jika ada), bisa juga dilakukan oleh konsultan eksternal. Jadi pernyataan Amirrudin bahwa "Mereka mensubkontrakkan pekerjaan ke konsultan psikologi, tidak berupaya menginvestigasi calon " adalah pernyataan yang patut dipertanyakan pemahamannya.

4. Konsultan yang melaksanakan pemeriksaan psikologis biasanya menerima "SPK" (sejenis surat perintah kerja) tentang tujuan pemeriksaan psikologis dan nama-nama peserta yang akan diperiksa. Tujuan pemeriksaan psikologis pada dasarnya adalah gambaran kesesuaian profil kecerdasan, kepribadian dan sikap kerja (baik potensi maupun kompetensi) dengan persyaratan jabatan.

5. Penelitian riwayat hidup (apalagi track record kejahatan, kesesuaian dengan UU, dan hal-hal yang sejenis), tidak dilakukan dalam pemeriksaan psikologis. Pada umumnya hal ini dilakukan pada tahap seleksi awal.

6. Kritik yang diberikan lebih banyak terkait dengan apa yang dikemukakan pada butir 5 tersebut di atas.

7. Kalau kemudian ditemukan bahwa ada yang  "lolos" dari berbagai tahap dalam proses seleksi, bahkan termasuk didalamnya tahapan di Presiden dan DPR, padahal ada berbagai aspek pada butir 5 masih dipertanyakan, maka pernyataan Todung Mulya Lubis yang merupakan bagian penutup dalam artikel tersebut, bisa dianggap sebagai kesimpulan.

> Todung Mulya Lubis, praktisi hukum,
> menyoroti independensi anggota Pansel. "Banyak yang beranggapan hasil
> Pansel tidak bebas kepentingan pihak-pihak yang bermain melalui
> anggota Pansel. Misalnya, orang yang menjadi calon pada pemilu bisa
> lolos jadi calon anggota KPU," ujarnya. Ia juga menyoroti adanya
> pengkaplingan yang terjadi di Pansel KPK. "Sudah ada kapling untuk
> polisi, jaksa," ujarnya. Seleksi di DPR juga tak jauh beda. Menurut
> Todung, DPR tidak memilih calon yang betul-betul handal dan
> berintegritas.


Jika demikian, bagian manakah yang menggambarkan "ketidakmampuan "mbenerin" profesi sendiri"  ?

Apakah ada pesan/maksud tersirat dari tulisan Istiani tersebut di atas ?  :) ;)

Mohon pencerahan. Terima kasih sebelumnya.

salam,
harez




--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com , "swastinika" <swastinika@...> wrote:
>
>
> Kronologisnya dibenerin dulu aaah :) Dari atas ke bawah :)
>
> Kutipan berita Kompas:
>
> Sejumlah nama yang dihasilkan Panitia Seleksi Komisi Pemberantasan
> Korupsi (KPK), juga ditolak para aktivis antikorupsi, antara lain nama
> Antasari Azhar. "Bagaimana bisa mendapatkan hasil yang baik, kalau
> Panitia Seleksi bekerja amatiran, setengah hati. Mereka mensubkontrakkan
> pekerjaan ke konsultan psikologi, tidak berupaya menginvestigasi calon,"
> kata Amirruddin.
>
> "Bagaimana mereka bisa bekerja maksimal, kalau mereka datang ke Jakarta
> saja baru menjelang proses fit and proper test. dan kebanyakan adalah
> orang-orang yang tidak punya waktu," tegas Amirruddin. Benny K Harman
> menilai, metode seleksi yang digunakan Pansel kebanyakan "normatif"
> sehingga tidak dapat digunakan untuk menilai kelayakan menjadi pejabat
> negara.
>
> Komentar Istiani atas berita di Kompas:
>
> Dengan membaca berita di bawah ini... masihkah perlu "kill and destroy
> Kim Il Sen" ??!!
>
> atau sebenarnya "perang" ini hanya sebuah gambaran dari ketidakmampuan
> diri sendiri atas kondisi yang ada....dan ketidakmampuan "mbenerin"
> profesi sendiri???....
>
> Komentar saya:
>
> Ehmm.. ehm.. Mbak Isti, kalau saya baca tulisan di Kompas tersebut, yang
> dituding sebagai tidak becus Todung Mulya Lubis dkk adalah Panitia
> Seleksi :) Tidak becusnya dimana? Tidak becusnya karena "cuma"
> mengandalkan data2 dari konsultan psikologi untuk mengambil keputusan
> seleksi. Jadi, yang Mbak Isti tuding sebagai tidak mampu mbenerin
> profesi sendiri itu mestinya juga Panitia Seleksi ya ;)?
>
> Akan halnya psikologi sendiri.. well, kalau setahu saya sih memang
> sebuah pengukuran psikologi bukan (dan seharusnya tidak) digunakan
> sebagai justifikasi go or no go dalam pengambilan keputusan :).
> Idealnya, sebuah hasil pengukuran psikologi hanya dijadikan data
> pelengkap untuk seseorang/sebuah badan MENGAMBIL keputusan.
>
> Jika kemudian seseorang/sebuah badan mengambil mentah2 data yang
> didapatkan dari konsultan psikologi dan menggunakannya sebagai penentu
> keputusan.. well, menurut saya sih kesalahan lebih pada si pengambil
> keputusan. Dia terlalu berani untuk mengambil keputusan dari data
> parsial :)
>
> Salam,
>
>
> --- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, "vincentliong"
> vincentliong@ wrote:
> >
> > Mbak Istiani,
> >
> > "kill and destroy Kim Il Sen" masih tema yang sangat signifikan bagi
> > oknum-oknum tertentu lulusan psikologi di Psikologi Transformatif yang
> > berusaha membasmi kompatiologi dengan segala cara dan pengorbanan.
> >
> > Kalau ada sebuah menara gading yang keropos dan tidak tinggi, lalu ada
> > menara gading baru yang meski lebih muda umurnya beresiko akan sedikit
> > lebih tinggi. Daripada yang lama menjadi tampak tidak tinggi, lebih
> > baik yang baru dihalangi menjadi tinggi.
> >
> > Orang-orang Psikologi ini tidak ada inisatif memperbaiki nasib diri
> > sendiri karena malas, yang penting jangan satupun orang lain bisa
> > lebih sukses. Jadi sama-sama sial saja.
> >
> > Ketika sebuah kapal psikologi perlahan-lahan tenggelam karena banyak
> > bocor, orang psikologi sibuk membuang airnya ke luar tetapi tidak ada
> > keinginan atau perasaan mampu untuk mentambal lubang-lubangnya.
> > Namanya juga minder :)
> >
> > Ttd,
> > Vincent Liong
> > Jakarta, Senin, 22 Oktober 2007
> >
> >
> >
> > Email sebelumnya...
> > http://tech.groups.yahoo.com/group/Komunikasi_Empati/message/2765
> > --- In Komunikasi_Empati@yahoogroups.com , Cornelia
> > Istiani istiani_c@ wrote:
> >
> > Dengan membaca berita di bawah ini...
> > masihkah perlu "mbenerin" VCL ??!!
> > masihkah perlu "kill and destroy Kim Il Sen" ??!!
> >
> > atau sebenarnya "perang" ini hanya sebuah gambaran
> > dari ketidakmampuan diri sendiri atas kondisi yang
> > ada....dan ketidakmampuan "mbenerin" profesi
> > sendiri???....
> >
> > selamat membaca....
> >
> > salam,
> > Istiani
> >
> >
> >
> ------------------------------------------------------------------------\
> ----
> > Kompas, Senin, 22 Oktober 2007
> >
> > Rekrutmen Komisi
> > Biaya Mahal, Panitia Seleksi Amatiran
> >
> > Jakarta, Kompas - Panitia Seleksi yang dibentuk untuk menjaring
> > calon-calon anggota komisioner, termasuk hakim agung, ternyata bekerja
> > secara amatiran. Akibatnya, biaya rekrutmen miliaran rupiah bisa
> > dibilang terbuang sia-sia. Kritik ini disampaikan anggota Komisi III
> > DPR Benny K Harman, praktisi hukum Todung Mulya Lubis dan aktivis hak
> > asasi manusia Amirruddin Al Rahab, di Jakarta, Minggu (21/10).
> > Sejumlah kontroversi muncul, di antaranya tertangkap tangannya anggota
> > Komisi Yudisial Irawady Joenoes, polemik soal calon anggota KPU
> > Syamsulbahri dan Theofillus Waimuri, serta polemik soal terpilihnya
> > Achmad Ali sebagai calon hakim agung dari Komisi Yudisial. Sejumlah
> > nama yang dihasilkan Panitia Seleksi Komisi Pemberantasan Korupsi
> > (KPK), juga ditolak para aktivis antikorupsi, antara lain nama
> > Antasari Azhar. "Bagaimana bisa mendapatkan hasil yang baik, kalau
> > Panitia Seleksi bekerja amatiran, setengah hati. Mereka
> > mensubkontrakkan pekerjaan ke konsultan psikologi, tidak berupaya
> > menginvestigasi calon," kata Amirruddin. Padahal kalau dilihat dari
> > biaya yang dikeluarkan bukanlah angka yang sedikit, rata-rata bernilai
> > miliaran rupiah, kecuali Komnas HAM sekitar Rp 400 juta dan Komisi
> > Penyiaran Indonesia Rp 120 juta. Amirruddin merujuk kinerja sejumlah
> > panitia seleksi, seperti pansel KPU yang diketuai Ridlwan Nasir yang
> > menggunakan konsultan psikologi Sarlito Wirawan, pansel KPK yang
> > dipimpin Men-PAN Taufieq Effendi yang memakai konsultan PT Dunamis;
> > Komisi Yudisial saat merekrut calon hakim agung memakai konsultan
> > Psikologi dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM). "Bagaimana
> > mereka bisa bekerja maksimal, kalau mereka datang ke Jakarta saja baru
> > menjelang proses fit and proper test. dan kebanyakan adalah
> > orang-orang yang tidak punya waktu," tegas Amirruddin. Benny K Harman
> > menilai, metode seleksi yang digunakan Pansel kebanyakan "normatif"
> > sehingga tidak dapat digunakan untuk menilai kelayakan menjadi
> > pejabat negara. Metode seperti itu juga tidak menjamin lahirnya
> > pejabat yang berintegritas. Todung Mulya Lubis, praktisi hukum,
> > menyoroti independensi anggota Pansel. "Banyak yang beranggapan hasil
> > Pansel tidak bebas kepentingan pihak-pihak yang bermain melalui
> > anggota Pansel. Misalnya, orang yang menjadi calon pada pemilu bisa
> > lolos jadi calon anggota KPU," ujarnya. Ia juga menyoroti adanya
> > pengkaplingan yang terjadi di Pansel KPK. "Sudah ada kapling untuk
> > polisi, jaksa," ujarnya. Seleksi di DPR juga tak jauh beda. Menurut
> > Todung, DPR tidak memilih calon yang betul-betul handal dan
> > berintegritas. (VIN/ANA)
> >
> > --- End forwarded message ---
> >
>




__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Groups

Dog Zone

Connect w/others

who love dogs.

Yahoo! Groups

Health & Fitness

Find and share

weight loss tips.

Yahoo! Groups

Endurance Zone

b/c every athlete

needs an edge.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: