Sabtu, 17 November 2007

[psikologi_transformatif] Re: “Ilmiah” sesuai pesanan anda ?!

Yang kita bahas tadi bukan kegiatan psikologi misalnya konseling
tetapi alat ukur yang ada di psikometri.

Kalau anda mentanyakan:
"... statistik, alat ukur, konsep dan teori, tapi ini ditujukan kepada
pengembangan ilmunya sendiri, bukan untuk kebutuhan praktis dalam
konsultasi dengan klien ..."
Saya pribadi tidak setuju karena klien tentunya harus menterjemahkan
makna misalnya IQ sekian, apa itu waras atau nga waras, pintar atau
tidak, jenius atau tidak, dlsb. Pemaknaan ini yang relatif sehingga
seperti yang saya katakan sebelumnya:
"Buat apa mentranslate pertanyaan besar menjadi pertanyaan kecil,
bayar mahal lagi padahal jawaban kongkrit pun belum didapat."
Hal ini saya katakan bukan dalam konteks untuk ilmuannya, penelitinya,
tetapi untuk konsumennya. Karena ketika konsumen membeli produk
artinya dia harus berhadapan dengan hasil produk itu, bagi konsumen
yang awam angka itu bukan jawaban kongkrit tetapi object pemaknaan
yang harus dipikir untuk diintepretasi oleh diri sendiri.

Kalau suatu alat ukur samasekali tidak hubungan dengan klien yang
orang awam atau di luar jurusan keilmian yang sama maka tidak ada
masalah semacam itu.

Mengalami sebagai Terdekon hanyalah 20-30% dari ilmu kompatiologi.
Biasanya penguasaan hingga 100% diperoleh selama beberapa kali ikut
sebagai pendekon tandem-kompatiologi. Dalam kompatiologi terdekon
sudah bisa dianggap setengah menguasai kompatiologi atau bahkan
dianggap setengah kompatiolog sebab mekanisme yang ditanamkan
membiasakan si orang untuk membaca ilmu apapun termasuk ilmu
kompatiologi sebagai posisi / titik kordinat dalam penmggaris ukurnya
sendiri. Kalau sesuatu bisa di-copy&paste maka artinya bisa ditiru
mendekati sempurna atau malah samadengan yang asli. Makanya di
kompatiologi ikut 1x sebagai terdekon dan 2-3x sebagai pendekon tandem
sudah bisa jualan sebagai pendekon independent dengan harga
sendiri-sendiri, tanggungjawab sendiri-sendiri, bahasa penyajian
sendiri-sendiri, yang sama hanya tekhnikalnya.

Sesuatu yang bersifat tekhnis memiliki sifat tidak ada pembedaan
tingkat keberbakatan sehingga meski kulit luar, penjelasannya beda
atau salah sekalipun asal tekhnikalnya standart maka hasil tetap
standart. Montir tidak perlu sekolah mesin dan hafal teori tentang
mesin untuk menjadi montir, cukup jadi asisten saja beberapa waktu
maka sudah tahu sebab-akibatnya sudah cukup. Yang menjadi masalah
adalah soal kepercayaan diri saja untuk berani mulai melangkahkan kaki
sebagai penanggungjawab.

Sesuatu yang bersifat keyakinan yang standart adalah kulit luarnya
(prosedural yang tampak oleh mata), tetapi soal skill, kemampuan,
kwalitas hasilnya sangat tergantung pengalaman dan kemampuan
masing-masing individu ahli.

Sampai hari ini kompatiologi sudah memiliki beberapa orang pendekon
yang hanya belajar 2x 3 jam saja yaitu: 1x sebagai terdekon dan 1x
sebagai pendekon. Karena sifat tekhnis bukan keyakinan tsb maka meski
penjelasannya trial&error tetap saja hasil dekon-kompatiologinya cukup
standart.

Ttd,
Vincent Liong
Jakarta, Minggu, 18 November 2007

Email sebelumnya...
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/35022
--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, pradita@... wrote:
Vincent,

Apa betul ilmu sosial, dalam hal ini psikologi, membantu klien dengan
cara memasoknya dengan konsep-konsep dan teori-teori? Saya kok sangsi...

Betul bahwa ada statistik, alat ukur, konsep dan teori, tapi ini
ditujukan kepada pengembangan ilmynya sendiri, bukan untuk kebutuhan
praktis dalam konsultasi dengan klien. Semisal, saya mengajar bahasa
Inggris di kelas, tentu yang saya ajarkan adalah ketrampilan praktis
memakai bahasa Inggris, bukan teori-teori linguistik Inggris. Tapi,
apa-apa yang terjadi dalam proses belajar-mengajar di kelas itu tentu
bisa saya teorikan, saya konseptualisasikan, dengan didukung sample
dan statistik serta rumus, dan lalu saya tuliskan hasilnya di jurnal
untuk dibagi bersama para pengajar bahasa Inggris lainnya.

Entahlah kalau di dekonnya Kompatiologi. Apakah sewaktu di-dekon si
klien cuma mengalami dekonstruksi saja atau sekaligus juga memperoleh
skills untuk menjadi praktisi dekon/Kompatiolog? Rasa-rasanya kok ini
dua hal yang berbeda. Di-dekon adalah satu hal, tapi menjadi
Kompatiolog adalah hal lain, bukannya begitu?

manneke

> Quoting vincentliong <vincentliong@...>:
>
> > Beberapa hari yang lalu saya sempat ngobrol dengan seorang praktisi
> > NLP dan Hipnoterapi soal kegiatan berpraktik ilmu kita masing-masing
> > dalam hubungannya dengan klien. Dari obrolan tsb kita sama-sama
> > sependapat bahwa klien yang masih diposisikan sebagai object
> > pengamatan tidak mendapatkan hasil yang diharapkan oleh klien /
> > konsumen selama belum mengalami posisi sebagai subject (pelaku,
> > pengambil keputusan).
> >
> > Bagi pengamat, kritikus, penilai, dlsb di ilmupengetahuan social
> > memang kesimpulan yang ilmiah itu adalah yang paling penting. Tetapi
> > selama efek samping bahwa klien terbantu misalnya lebih terampil,
> > adaptif, efisien, dlsb dalam menghadapi masalah (tidak sekedar
> > diyakinkan dengan teori dan konsep-konsep, bahwa hal itu telah dan
> > pasti tercapai) tidak dialami sendiri oleh si klien / konsumen, maka
> > suatu kesimpulan seobjective dan seilmiah apapun tidak dianggap
> > memiliki nilai guna oleh klien / konsumen.
> >
> > Saya pernah mengatakan bahwa ada bermacam-macam dimensi object
> > pemaknaan yang ada dalam kehidupan kita sehari-hari. Semakin luas
> > dimensinya maka semakin luas kemungkinan pemaknaannya, misalnya:
> > * 0 dimensi misalnya pemaknaan kata-kata saja.
> > * 1 dimensi misalnya grafik satu dimensi dari minimum
> > sampai maksimum.
> > * 2 dimensi misalnya gambar.
> > * 3 dimensi misalnya bagunan yang memiliki volume dan
> > bentuk tiga dimensi.
> > * lebih dari 3 dimensi seperti misalnya rasa atau
> > bahkan perasaan.
> >
> > Alat ukur psikologis hanya mengubah object pengamatan di dimensi yang
> > lebih luas (lebih dari 3 dimensi) menjadi object pengamatan 1 dimensi
> > (grafik satu dimensi dari minimum sampai maksimum). Selama suatu alat
> > ukur belum mampu mencapai kegunaan bagi subject pelaku, bukan sekedar
> > object pengamatan yang menghasilkan object pengamatan lain (laporan
> > angka, grafik satu dimensi dari minimum sampai maksimum) sebagai
> > kesimpulan, maka apapun caranya, secanggih semutahir apapun tidak bisa
> > memberikan nilai guna yang cukup pasti dan standart bagi klien /
> > konsumen.
> >
> > Menghadapi problem ini kompatiologi dalam metodologinya tidak memberi
> > keyakinan dengan teori dan konsep-konsep, bahwa hal itu telah dan
> > pasti tercapai. Maka dari itu kompatiologi dalam iklan-iklannya selalu
> > memberi cerita yang relatif bukan menjanjikan kebaikan di awal. Yang
> > kami berikan hanyalah metodologi; sehingga keberhasilan dan kegagalan
> > murni dilihat dari penerapan costumize di penggunanya masing-masing.
> > Sistem yang ditanamkan dengan dekon-kompatiologi membuat si pengguna
> > sendiri yang mampu melakukan pengukuran, sehingga object pengamatan
> > bisa ditranslate menjadi pengalaman dan pengertian subjective si klien
> > / konsumen sendiri. Tanpa perlu menterjemahkan lagi object pengamatan
> > lain yang berbentuk laporan angka, grafik satu dimensi dari minimum
> > sampai maksimum yang dibuat oleh orang lain (pengamat, kritikus,
> > penilai) yang dianggap ahli.
> >
> > Buat apa mentranslate pertanyaan besar menjadi pertanyaan kecil, bayar
> > mahal lagi padahal jawaban kongkrit pun belum didapat.
> >
> >
> > Ttd,
> > Vincent Liong
> > Jakarta, Sabtu, 17 November 2007
> >
> >
> >
> > Email sebelumnya...
> > http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/35001
> > --- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, pradita@ wrote:
> >
> > Makasih Alex atas tambahannya. Saya setuju dengan point Anda soal
> > kelatahan ilmuwan sosial itu. Gara-gara ngebet ingin diakui
> > kelimuannya, lalu memaksa dri mengadopsi stadar-standar keilmiahan
> > ilmu alam. Sebagai orang luar, saya kok agak cemas memperhatikan
> > perkembangan ilmu psikologi mutakhir, yang makin lama makin meng-IPA.
> > Semuanya dibuatkan meterannya (psikometrik), seolah manusia bisa
> > diklasifikasi dan diukur secara eksak, lalu disimpulkan siapa dia.
> > Sementara psikolog-psikolog yang tak terlalu ketagihan meteran,
> > seperti Jung dan Freud, yang berusaha menyelam lebih jauh ke dalam
> > "jiwa" manusia yang tak terukur secara kuantitaif, malah nggak laku.
> >
> > Saya mungkin salah menilai psikologi, berhubung saya orang awam dalam
> > bidang ini. Jadi, jika ada rekan-rekan dari psikologi yang bersedia
> > meluruskan atau mengisahkan lebih lanjut soal ini, saya amat berterima
> > kasih. Dengan harapan, semoga tak ada yang tersinggung. Ini
> > dimaksudkan untuk saling belajar, bukan mengkritik ilmu psikologi.
> > Kalau saya keliru, itu karena ketidaktahuan, bukan niat jelek.
> >
> > manneke
> >
> >
> > > Quoting Alexander <alexanderkhoe@>:
> > >
> > > >
> > > > Pak, indigo ini memang tidak tahu apa yang telah ditulisnya...
paling
> > > > itu uraian dari ci... jadi tidak usah dikomentari saja.
> > > >
> > > > Tetapi perbedaan pokok antara sains sosial dan alam memang
ada, yaitu
> > > > perbedaan relasi antara dunia konseptual dan dunia nyata yang
diamati.
> > > > Karena dalam sains alam yang dominan adalah: dunia nyata akan
> > > > mempengaruhi dunia konseptual (Persepsi-->Konsep) dan ini
dituangkan
> > > > dalam metode ilmiah yang baku beserta alat matematika yang
digunakan.
> > > > Sedangkan dalam sains sosial ada proses terbalik yang
signifikan yaitu
> > > > pengaruh dunia konseptual yang diciptakan ke dalam dunia nyata
yang
> > > > diamati (Konsep --> Konsepsi). Contohnya adalah penerapan Konsep
> > > > Marxisme yang kemudian mau tidak mau akan mempengaruhi realitas
> > ekonomi
> > > > dan psikologis. Sayangnya Sains sosial masih mengadaptasi metode
> > ilmiah
> > > > dari sains alam berikut filosofi alat matematikanya. Hal ini
merupakan
> > > > kelemahan utama Sains sosial, sehingga sampai saat ini belum dapat
> > > > menghasilkan teori dan konsep yang konvergen. Akibatnya dalam
sains
> > > > sosial, kemampuan prediksinya masih lemah sampai saat ini.
> > > >
> > > > [Btw definisi dari istilah sains=science itu sendiri
sebenarnya hanya
> > > > sesuai untuk sains alam saja. Karena dalam Sains sosial seperti
> > ekonomi
> > > > dan psikologi, fenomena yang teramati tidak benar-benar bersifat
> > > > berulang (kalimat dalam bold perlu dipertanyakan)]
> > > >
> > > > ----------------------------------------
> > > >
> > > > Science (from the Latin scientia, 'knowledge'), in the
broadest sense,
> > > > refers to any systematic knowledge or practice.[1] In a more
> > restricted
> > > > sense, science refers to a system of acquiring knowledge based
on the
> > > > scientific method, as well as to the organized body of knowledge
> > gained
> > > > through such research.[2][3] This article focuses on the more
> > restricted
> > > > use of the word.
> > > >
> > > > Fields of science are commonly classified along two major lines:
> > > >
> > > > Natural sciences, which study natural phenomena (including
biological
> > > > life), and
> > > > Social sciences, which study human behavior and societies.
> > > > These groupings are empirical sciences, which means the
knowledge must
> > > > be based on observable phenomena and capable of being
experimented for
> > > > its validity by other researchers working under the same
conditions
> > > >
> > > > -------------------------------------------------
> > > >
> > > > --- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, pradita@ wrote:
> > > > >
> > > > > Vincent, mau menyatu atau terpisah, itu pilihan posisi yang
> > sepenuhnya
> > > > terletak
> > > > > di tangan peneliti, bukan didikte oleh metodenya.
Pernyataanmu di
> > > > bawah ini
> > > > > kian menunjukkan bahwa pemahamanmu tentang ilmu sosial sudah
sangat
> > > > ketinggalan
> > > > > zaman. Makanya, itulah pentingnya belajar. Biar
pengetahuannya tidak
> > > > mandeg.
> > > > >
> > > > > Kalo Anda liat, apakah para aktivis berlatar belakang ilmu
> > sosial yang
> > > > getol
> > > > > bergerak melawan ketidakadilan, pelanggaran HAM, penindasan,
> > > > peminggiran, dan
> > > > > kesewenang-wenangan kekuasaan itu terpisah antara teori dan
praksis?
> > > > > Bahkan,istilah "praksis" pun mula-mula dipakai para ilmuwan
sosial
> > > > yang
> > > > > berwawasan Marxis, untuk menekankan pentingnya realitas di
luar sana
> > > > daripada
> > > > > teori.
> > > > >
> > > > > Sori, Vincent, tapi "teori"-mu tentang evolusi ilmu dari
> > > > kedokteran-teknik-
> > > > > sosial itu tak bisa dibuktikan keabsahannya. Kau bilang,
ilmu teknik
> > > > menyatu
> > > > > antara teori dan praktik? He he he, dari mana lagi nemu
> > pandangan kaya
> > > > begini?
> > > > > Kalo betul begitu halnya, Vincent, tak akan ada dampak buruk
> > teknologi
> > > > terhadap
> > > > > lingkungan, tatanan kehidupan sosial, dan pendidikan. Lalu,
siapa
> > > > menurutmu
> > > > > yang selalu rajin mengingatkan orang tentang dampak-dampak
negatif
> > > > itu? Para
> > > > > insinyurkah? Kalo saya amati sejauh ini di pelbagai media massa,
> > > > kebanyakan
> > > > > orang dari latar belakang ilmu sosial tuh?
> > > > >
> > > > > Kalapun ada sejenis persatuan antara teori dan praktik dalam
ilmu
> > > > teknik, itu
> > > > > adalah keharusan untuk betul-betul menerapkan apa yang sudah
> > digambar
> > > > dan
> > > > > dihitung secara matematis di atas kertas ke dalam struktur yang
> > > > dibangunnya.
> > > > > Bagaimana dampak kehadiran struktur itu pada hidup manusia? Who
> > cares?
> > > > Gitu
> > > > > kan? Dan inikah yang kamu unggul-unggulkan itu? Wah, sedihnya
> > > > hatiku...
> > > > >
> > > > > manneke
> > > > >
> > > > > Quoting vincentliong vincentliong@:
> > > > >
> > > > > >
> > http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/34862
> > > > > > --- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, pradita@
wrote:
> > > > > >
> > > > > > Ini kan cara pikir yang mencampur-adukkan antara metode
penelitian
> > > > > > ilmiah dengan integritas pribadi penggunanya. Kalo
penggunanya gak
> > > > > > betul jangan kambing hitamkan alatnya. Sama aja dengan
> > Kompatiologi
> > > > > > kan? Kalo kompatiolognya bejat, Vincent kan juga gak rela
> > > > > > Kompatiologinya yang diobok-obok? Yang penting, Vincent,
> > belajarlah
> > > > > > untuk berpikir tanpa bias. Pemikiran Anda di bawah ini kan
> > > > dipengaruhi
> > > > > > oleh pengalaman negatif Anda dengan sekolahan. Maka,
bunyinya ya
> > > > jadi
> > > > > > kaya gini. Tapi, tidakkah dengan demikian Anda bisa lihat
sendiri
> > > > pada
> > > > > > diri Anda bagaimana "kepentingan" bisa menyelusup masuk ke
logika
> > > > > > pemikiran? Nah, yang beginianlah yang mesti dicegah, bukan
> > metodenya
> > > > > > yang disalahin.
> > > > > >
> > > > > > manneke
> > > > > >
> > > > > >
> > > > > >
> > > > > > Vincent Liong answer:
> > > > > >
> > > > > > Sdr Manneke, ini tidak ada hubungannya dengan kompatiologi
atau
> > > > > > kekecewaan saya pada dunia pendidikan resmi.
> > > > > >
> > > > > > Pointnya adalah:
> > > > > > Metodologi penelitian ilmiah mengalami perubahan dari ilmu
tekhnik
> > > > ke
> > > > > > ilmu kedokteran lalu ke ilmu sosial. Pada ilmu tekhnik posisi
> > > > praktisi
> > > > > > dan teoritisi lebih menyatu, lalu bergerak ke kedokteran
hingga ke
> > > > > > ilmu sosial posisi praktisi dan teoritisi semakin terpisah.
> > > > > >
> > > > > >
> > > > > > Silahkan baca email di bawah ini:
> > > > > >
> > > > > > ==========
> > > > > > Subject: Re: Yuk kita rame2 menghancurkan Vincent Liong
(Asumsi =
> > > > > > Sintesis)
> > > > > > From: Vincent Liong
> > > > > > DDT: Wed Oct 24, 2007 3:05 am
> > > > > > e-link:
> > > > http://tech.groups.yahoo.com/group/Komunikasi_Empati/message/2775
> > > > > >
> > > > > >
> > > > > > Note: Email saya kali ini ditujukan untuk melanjutkan
pembahasan
> > > > > > Ilmiah sesuai pesanan anda sekaligus menjawab email B.
Sudjanto
> > > > > > sebagai sebuah contoh kasus yang berhubungan dengan hal
tsb. Email
> > > > ini
> > > > > > juga diharapkan memberikan reasoning atas segala usaha
"Kill and
> > > > > > Destroy Kim Il Sen" yang berlangsung di maillist
> > > > > > psikologi_transformatif dengan segala usaha dan
pengorbanan secara
> > > > > > radikal, fanatik, bahkan rela berjibaku sampai
habis-habisan tanpa
> > > > > > reasoning yang jelas.
> > > > > >
> > > > > >
> > > > > > Sebelum membahas secara lebih mendetail dengan contoh kasus
> > mengenai
> > > > > > masalah "Ilmiah sesuai pesanan anda" pertama-tama saya
> > membahas dulu
> > > > > > secara urut proses metodologi penelitian ilmiah yang sekaligus
> > > > empiris
> > > > > > (kwantitative) yang perlahan-lahan contoh praktikalnya
bergerak ke
> > > > > > semakin subjective / costumize (kwalitative), dan
konsekwensinya
> > > > > > terhadap ketepatan dan kejernihan kerja metodologi penelitian
> > ilmiah
> > > > > > di setiap jenis penerapan metodologi penelitian.
> > > > > >
> > > > > > Metodologi Penelitian Ilmiah pada awalnya lahir dari dunia
ilmu
> > > > > > tekhnik yang memiliki object penderita berupa mesin atau
alat yang
> > > > > > bersifat benda mati. Sifat dari benda mati adalah keterbatasan
> > > > pilihan
> > > > > > sebab-akibat atau bisa dikatakan tidak memiliki kehendak bebas
> > bila
> > > > > > dibandingkan dengan kegiatan pemerosesan informasi
(berpikir) pada
> > > > > > manusia dan hewan (sebagai subject yang individual) sehingga
> > > > bersifat
> > > > > > sangat empiris.
> > > > > >
> > > > > > Selanjutnya metodologi penelitian ilmiah juga masih bisa
> > dilebarkan
> > > > > > lagi ke dunia kedokteran dimana kerja hubungan
sebab-akibat pada
> > > > tubuh
> > > > > > fisik manusia, hewan dan tumbuhan bersifat tekhnis dan
mekanis.
> > > > > > Keterbatasan pilihan sebab-akibat atau bisa dikatakan tidak
> > memiliki
> > > > > > kehendak bebas bila dibandingkan dengan kegiatan pemerosesan
> > > > informasi
> > > > > > (berpikir) pada manusia dan hewan (sebagai subject yang
> > individual)
> > > > > > sehingga bersifat cukup empiris, tetapi tidak se-empiris pada
> > > > > > penerapan ilmiah di benda mati sebab pada manusia, hewan dan
> > > > tumbuhan
> > > > > > masih terjadi evolusi dan adaptasi secara non-sadar.
> > > > > >
> > > > > > Selanjutnya metodologi penelitian diterapkan kembali ke bidang
> > yang
> > > > > > jauh lebih subjective lagi yaitu pemerosesan infromasi atau
> > kegiatan
> > > > > > berpikir manusia dan hewan. Dalam penerapan di kegiatan
berpikir
> > > > > > manusia dan hewan khususnya ilmupengetahuan sosial masalah
timbul
> > > > > > karena pada pemikiran manusia dan hewan kegiatan evolusi
adaptasi
> > > > > > secara sadar terjadi pada kegiatan berpikir manusia
sehingga ada
> > > > > > kehendak bebas yang sifatnya sangat individual; ada asumsi,
> > > > > > kepentingan, sudutpandang, keyakinan, dlsb yang membuat
hubungan
> > > > > > sebab-akibat tidak terbatasi bersifat tekhnis saja; Tetapi
menjadi
> > > > > > lebih tidak empiris karena adanya kondisi terhipnotis oleh
> > argumen,
> > > > > > teori, asumsi, kepentingan, sudutpandang. Metodologi
penelitian
> > > > ilmiah
> > > > > > berubah fungsi sebagai alat bantu yang dapat bekerja bersamaan
> > > > dengan
> > > > > > metodologi penelitian empiris menjadi sekedar alat untuk
> > > > menghipnotis
> > > > > > diri sendiri lebih dalam pada asumsi, kepentingan,
sudutpandang,
> > > > > > keyakinan, dlsb yang sudah ada sebelum bahkan sebelum kegiatan
> > > > > > penelitian direncanakan.
> > > > > >
> > > > > >
> > > > > > Oleh karena itu radikalisme, fanatisme, fundamentalisme
yang tidak
> > > > > > memiliki hubungan sebab-akibat yang jelas runtutan-nya
datang dari
> > > > > > kaum berpendidikan ilmiah sosial bukan dari oknum-oknum tidak
> > > > > > berpendidikan. Apapun input yang disugestikan secara sadar
tidak
> > > > sadar
> > > > > > menjadi ilmiah. Tidak ada bedanya lagi antara ilmu sosial
ilmiah
> > > > > > dengan agama, metafisika dan spiritual yang murni bersifat
> > keyakinan
> > > > > > tanpa perlu ada bukti kongkrit.
> > > > > >
> > > > > > Ketika seseorang mengatakan sesuatu adalah baik atau buruk
> > maka hal
> > > > > > itu tidak perlu terjadi dan tidak perlu ada bukti di masa lalu
> > masa
> > > > > > kini dan masa yang akan datang, yang penting pengkondisian
saat
> > > > > > menghipnotisnya cukup dramatis; misalnya Leonardo Rimba
mengatakan
> > > > hal
> > > > > > tsb dengan membawa hal-hal yang bersifat ketuhanan,
spiritual yang
> > > > > > tinggi, dlsb maka sudah masuk dalam logika ilmiah.
> > > > > >
> > > > > > Jadi ada dua hal yang penting di sini dalam melakukan
> > penghipnotisan
> > > > > > atas suatu keyakinan adalah sbb:
> > > > > > *Yang berinisiatif pertama kali menanamkan asumsi secara
dramatis
> > > > akan
> > > > > > menjadi keyakinan bahkan akan dikuatkan dengan dianggap ilmiah
> > > > setelah
> > > > > > si individu diajak berpetualang dengan pola jalan cerita
logika
> > > > sesuai
> > > > > > penghipnotis di ranah pikiran tanpa perlu bukti fisikal /
di dunia
> > > > > > nyata, atau bukti palsu bisa dibuat belakangan sesuai
kebutuhan
> > > > saja.
> > > > > > * Yang paling dramatis, paling heboh, paling tinggi,
paling benar
> > > > > > bahasanya seperti misalnya dengan membawa hal-hal ketuhanan,
> > > > intuisi,
> > > > > > dlsb akan dianggap secara ilmiah benar adanya.
> > > > > >
> > > > > > "Asumsi = Sintesis" karena ada jalan cerita yang jelas
dari asumsi
> > > > > > sampai ke sintesis yang mampu membuat pikiran anda
meyakini tanpa
> > > > > > perlu ada bukti kongkrit di dunia nyata atas hal tsb,
bahkan bisa
> > > > > > tampak seperti jalan cerita yang sangat ilmiah.
> > > > > >
> > > > > > Nah pada kasus B.Sudjanto, terjadi loncatan yang tidak
> > disadari dari
> > > > > > penelitian ilmiah pada latarbelakang pendidikan tekhnologi
> > industri
> > > > > > yang berkaitan dengan mesin yang adalah benda mati, lalu
> > > > diasosiasikan
> > > > > > secara linear ke penelitian ilmiah ala ilmupengetahuan
sosial. Ini
> > > > > > adalah hal umum yang terjadi pada jaman ini dimana radikalisme
> > > > sesaat
> > > > > > tanpa disadari bisa dipancing dengan mudah untuk timbul di
> > kalangan
> > > > > > orang berpendidikan entah itu ilmu yang bersifat tekhnis
> > > > (berhubungan
> > > > > > dengan benda mati), ilmu kedokteran dan ilmu social,
tetapi sulit
> > > > > > dilakukan kepada kalangan pedagang dan orang-orang yang
berada di
> > > > > > lingkungan praktikal sehari-hari tanpa embel-embel kasta
keyakinan
> > > > > > jabatan, ijasah, ilmiah, dlsb.
> > > > > >
> > > > > > Efek sampingnya misalnya dalam kasus B.Sudjanto adalah timbul
> > suatu
> > > > > > radikalisme, fundamentalisme dan fanatisme untuk melihat
pribadi
> > > > > > seorang Vincent Liong dari sisi yang diperkenalkan oleh
Leonardo
> > > > Rimba
> > > > > > saja. Jadi seperti seseorang yang sedang menyukai Honda
Jazz Biru
> > > > akan
> > > > > > terbawa untuk melihat begitu banyak Honda Jazz Biru di jalan
> > > > dibanding
> > > > > > mobil yang lain yang tidak terlalu diperhatikan. Sugesti
dengan
> > > > model
> > > > > > dramatisasi membuat orang menjadi berkacamata kuda atau bahkan
> > buta.
> > > > > >
> > > > > > Vincent Liong sebagai praktisi kompatiologi mengalami
kesulitan
> > > > untuk
> > > > > > membela diri, karena bila Vincent Liong membela diri
dengan cara
> > > > yang
> > > > > > sama dengan Leonardo Rimba, yaitu dengan mendramatisasi cerita
> > yang
> > > > > > tidak kalah heboh dan ideal-nya misalnya dengan menjanjikan
> > hal-hal
> > > > > > yang amat ideal atau bersifat keTuhanan, maka Vincent Liong
> > > > melanggar
> > > > > > komitment dasar kompatiologi yaitu tidak menjanjikan
sesuatu yang
> > > > > > bersifat ketuhanan, serba tinggi, serba ideal, dlsb. Pengajar
> > > > > > kompatiologi selalu berusaha menjawab pertanyaan dengan
bersifat
> > > > > > tekhnis karena hasil dari sesuatu yang sifatnya ilmu
sosial sangat
> > > > > > tergantung dari pilihan bebas pelaku atau pengguna-nya
> > sendiri. Bagi
> > > > > > Vincent Liong ini masalah moral kejujuran sebagai ilmuan saja.
> > > > > >
> > > > > >
> > > > > > "Pengalaman sehari-hari menghasilkan peta hubungan
sebab-akibat,
> > > > > > Peta hubungan sebab-akibat dikonsepkan polanya maka
menghasilkan
> > > > teori,
> > > > > > Teori di-tarikat-kan atau dilakonkan,
> > > > > > Menghasilkan perjalanan menuju kebenaran mutlak (Tuhan)."
> > > > > >
> > > > > > Perjalanan spiritual yang dimulai dari teori tentang kebenaran
> > yang
> > > > > > sangat amat ideal beresiko terjadinya kepecahan mental pada si
> > > > pelaku,
> > > > > > karena tidak adanya relasi antara pengalaman pribadi
dengan teori
> > > > yang
> > > > > > dianggap benar. Pada banyak kasus menghasilkan dua sisi
sifat yang
> > > > > > amat berbeda antara yang diucapkan dengan yang dilakonkan.
> > > > > > Keterpecahan ini membuat murid tidak akan pernah mencapai
gurunya,
> > > > > > karena teori yang ditanamkan sekedar sugesti atau hipnotis
pada
> > > > > > pikiran saja atas titik ekstrim yang satu terhadap titik
ekstrim
> > > > yang
> > > > > > berlawanan yang dianggap ideal tetapi tidak akan pernah
tercapai.
> > > > Dari
> > > > > > situ tercipta ketergantungan yang terus-menerus kepada
guru atas
> > > > dasar
> > > > > > perasaan tidak aman. Maka dari itu antara satu aliran ilmu
> > jenis ini
> > > > > > dengan aliran ilmu jenis ini yang lain saling bertengkar untuk
> > > > berebut
> > > > > > massa yang bisa dibodohi untuk percaya dan terkunci atas dasar
> > > > > > perasaan tidak aman tsb.
> > > > > >
> > > > > > Perjalanan spiritual yang dimulai dari kegiatan menghargai
> > > > pengalaman
> > > > > > sehari-hari, dilanjutkan secara mandiri dan independent
memetakan
> > > > > > hubungan sebab akibatnya, tanpa perlu diarahkan, diceramahi
> > teorinya
> > > > > > akan menemukan teori yang cocok sendiri. Teori ini begitu
jelas
> > > > > > hubungannya dengan diri sendiri hingga tanpa perlu ada yang
> > > > membimbing
> > > > > > dan mengajari akan terarahkan di jalurnya hingga menemukan
> > kebenaran
> > > > > > mutlak yang cocok dengan dirinya sendiri, sehingga tidak
ada lagi
> > > > > > ketergantungan akan peran sang guru. Tugas seorang guru hanya
> > > > > > mempersiapkan dasarnya, urusan masing-masing individu untuk
> > > > menjalani
> > > > > > perjalanannya sendiri untuk mencapai kesempurnaan yang cocok
> > dengan
> > > > > > dirinya sendiri. Maka dari itu kompatiologi tidak pernah
> > mengarahkan
> > > > > > orang ke kebenaran yang bukanlah hasil temuannya sendiri,
biarlah
> > > > > > mereka membuat teori dan menjalaninya hingga puas
menemukannya,
> > > > > > kompatiologi hanya mempersiapkan dasar yaitu kemampuan
pengukuran
> > > > > > subjective untuk membaca data.
> > > > > >
> > > > > >
> > > > > > Nah sdr B.Sudjanto silahkan diperhatikan kembali nasehat
sahabat
> > > > anda
> > > > > > Margaret Widyanti yang telah beberapa kali berpesan pada anda
> > untuk
> > > > > > tidak terbawa oleh orang-orang yang berkepentingan sehingga
> > > > > > berpura-pura di depan anda dengan membuat dramatisasi
jarak guru
> > > > murid
> > > > > > yang terlalu jelas, menjadi orang yang terlalu ideal dibanding
> > diri
> > > > > > anda yang terlalu kurang ideal dalam konsep non-egaliter
mereka.
> > > > > > Memangnya ada manusia dewa hidup di dunia ini?!
> > > > > >
> > > > > > Semoga beruntung…
> > > > > >
> > > > > >
> > > > > > Ttd,
> > > > > > Vincent Liong
> > > > > > Jakarta, Rabu, 24 Oktober 2007
> > > > > >
> > > > > >
> > > > > >
> > > > > >
> > > > > >
> > > > > > Email sebelumnya...
> > > > > > e-link:
> > > > > >
> > > >
http://groups.google.com/group/Komunikasi_Empati/msg/24a552c702c63732
> > > > > > Benediktus Sudjanto wrote:
> > > > > >
> > > > > > Vincent,
> > > > > >
> > > > > > Saya ngajak kamu dan mas Leo itu sebagai pribadi, tidak ada
> > > > > > hubungannya dengan pekerjaan saya.
> > > > > >
> > > > > > Soal uang dalam perjalanan kita tempo hari juga bukan
masalah bagi
> > > > > > saya, kan saya yang menanggung hampir semua biaya termasuk
> > kamu naik
> > > > > > kuda di Tawangmangu.
> > > > > >
> > > > > > Saya tak bingung dan tak perlu bertanya soal kompatiologi, kan
> > > > sebagai
> > > > > > pengamat saya juga mengikuti sambil lalu. Kan kamu yang
> > menerangkan
> > > > > > sendiri dan minta bantuan mas Leo menerangkan. Kamu minta
masukan,
> > > > > > yang kamu Kamu dan mas Leo malah berkomentar kesaya, kalau
kamu
> > > > bagian
> > > > > > urusan instinct (bawah) dan mas Leo intuition (atas) dan
mendaulat
> > > > > > saya di bagian "tengah-2" bagian balancing.
> > > > > >
> > > > > > Saya kok dikatakan "membentak-bentak seminggu penuh", apa itu
> > benar
> > > > > > dalam kenyataan? Saya memang pernah dengan keras mengatakan ke
> > kamu,
> > > > > > kalau kamu itu menjalankan kejahatan karena menjual sesuatu
> > yang tak
> > > > > > jelas manfaatnya dan mendapatkan uang. Kamu promosi sesuatu ke
> > saya
> > > > > > yang saya tahu tak ada manfaatnya, secara terus menerus,
> > menerangkan
> > > > > > secara berulang-ulang tanpa diminta, menafikan masukan
orang dan
> > > > > > merasa terpojok sendiri walau tak ada yang memojokkan.
Kalau saya
> > > > > > sampai marah itu berarti saya simpati ke kamu, karena
merasa bahwa
> > > > > > kamu masih muda, kekeliruan yang sudah dialami, bisa
diperbaiki
> > > > dengan
> > > > > > rendah hati, eh malah sekarang lebih sombong dari yang
mampu saya
> > > > > > bayangkan untuk seorang manusia. Kalau tak perduli, kan
kamu bisa
> > > > saya
> > > > > > usir, atau saya diam saja, meninggalkan pembicaraan yang
> > > > > > "percumtakbergun" alias percuma tak berguna. Paling tidak
kamu itu
> > > > > > harusnya memiliki sopan santu manusia biasa dalam
berkomunikasi,
> > > > saya
> > > > > > rasa sudah cukup. Sebagai penyandang sendiri "penemu"
> > kompatiologi,
> > > > > > yang ada kata "empati" nya, saya hanya bisa bilang
"wah-wah kok
> > > > begitu".
> > > > > > Bayangkan, orang yang kamu dekon dan membayar, kamu katakan
> > beberapa
> > > > > > kali lewat mulutmu sendiri bahwa kamu ingin menjadikan mereka
> > > > "seperti
> > > > > > blackie, anjing gua di rumah". Paling tidak kamu berbelas
kasihlah
> > > > > > dengan mereka yang mau menjadi kelinci/anjing cobaanmu dengan
> > > > membayar
> > > > > > uang dan waktu dengan segala keluguan, kesopanan, pengharapan,
> > > > > > keperluan mereka yang entah apa jenis persisnya. Entah, harus
> > > > > > bagaimana lagi saya mesti berkomentar, apa ya ada gunanya
secara
> > > > > > positif kalau saya berkomentar lagi, kalau waktu lebih
> > seminggu kita
> > > > > > bersama kamu katakan bahwa saya membentak-bentak kamu?
> > > > > > Setelah sharing berdua dengan saya di penghujung malam
masuk pagi
> > > > > > waktu di Solo, dengan kejujuranmu dan hampir tangismu dan
empatiku
> > > > > > kekamu serta rencana baikmu untuk dengan rendah hati
memperbaiki
> > > > untuk
> > > > > > dirimu sendiri, lalu kamu menafsirkan bahwa aku hanya
dituliskan
> > > > > > sebagai yang membentak-bentakmu selama seminggu. So what
gitu loh!
> > > > > > Yah, bagiku tak apa-2, karena aku tak punya kepentingan apa-2
> > > > > > denganmu, hanya empatiku bagi sesama yang kebetulan salah
satunya
> > > > kamu
> > > > > > yang sempat lewat dalam sebagian waktu hidupku, dan kalau itu
> > > > membuat
> > > > > > kamu bahagia dengan gaya dan kata-2 mu, ya teruskan saja
apa yang
> > > > kamu
> > > > > > anggap baik bagimu. Begitu saja ya, sudah cukup.
> > > > > >
> > > > > > B Sudjanto
> > > > > >
> > > > > >
> > > > > >
> > > > > >
> > > > > >
> > > > > > Email sebelumnya...
> > > > > > http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/22917
> > > > > > --- In vincentliong@yahoogroups.com, "vincentliong"
> > > > > > vincentliong@ wrote:
> > > > > >
> > > > > > Mas Leo, inget ngak mas Leo saat elo ngajak gw ke Solo bersama
> > > > > > B.Sudjanto yang direkturnya pabrik lensa Policore anak
perusahaan
> > > > > > Djarum di Karawang. Saat itu gw bilang kalau gw lagi tidak
> > siap uang
> > > > > > dan mas Leo aturkan agar dalam 5-6 jam kita dijemput di
rumah gw,
> > > > kata
> > > > > > mas Leo tidak perlu bawa uang.
> > > > > >
> > > > > > Ketika awal mas Leo memperkenalkan ulang saya ke B.
Sudjanto yang
> > > > dulu
> > > > > > juga murid kundalini saya dan pak Ngurah Ardika cuma sungkan
> > karena
> > > > > > bingung sama perkembangan penelitian saya yang terlalu
cepat, maka
> > > > > > nanya ke mas Leo.
> > > > > >
> > > > > > Mas Leo ngomong persis sama dengan kalimat-kalimat mas Leo di
> > bawah
> > > > > > ini. Ini yang membuat gw dibentak-bentak seminggu penuh oleh
> > > > > > B.Sudjanto gara-gara kalau gw bilang ya maka mas Leo tekankan
> > > > artinya
> > > > > > tidak lalu kalau gw bilang tidak kata mas leo ya lama-lama gw
> > > > bingung
> > > > > > sendiri. Lalu mas Leo juga bilang tentang saya yang binatang
> > banget.
> > > > > >
> > > > > > Saat itu belum sekalipun saya tegur mas Leo dengan halus
maupun
> > > > kasar
> > > > > > dan kalau ditegur secara halus tambah jadi dan menambah
penjelasan
> > > > > > membingungkan semacam ini dengan dihubungkan dengan
intuisi dan
> > > > > > hal-hal keTuhanan dimana saya yang dikatakan jadi setannya.
> > > > > >
> > > > > > Mas Leo masih ingat tidak ?
> > > > > > Tulisan di bawah ini hanya mengulang kalimat yang dulu
khan ? Sama
> > > > lho
> > > > > > kalimat-kalimatnya, hanya dulu mas ngomong ini ke B.
Sudjanto di
> > > > depan
> > > > > > saya, dan saat ini mas Leo ngomong ke maillist, hanya itu
> > bedanya...
> > > > > >
> > > > > > Saat itu saya setress jadi kalau makan sampai beol-beol
sebagai
> > > > > > pelarian, karena saya tidak bisa kontrol. B. Sudjantomas Leo
> > panasi
> > > > > > bahwa Jin saya yang makan dan juga soal keburukan prilaku
saya.
> > > > Depan
> > > > > > mata saya lho mas Leo, saat itu.
> > > > > >
> > > > > > Lalu siapa yang berani menemani mas Leo sekarang ? Serem atuh
> > resiko
> > > > > > dijadikan umpan ikan :) Saya seumur-umur tidak jadikan mas Leo
> > umpan
> > > > > > ikan lho, inget itu mas Leo.
> > > > > >
> > > > > > Ditemani itu mahal mas Leo... Ya jadi umpan buat mancing
ikan ?!
> > > > > >
> > > > > >
> > > > > > Ttd,
> > > > > > Vincent Liong
> > > > > > Jakarta, Senin 22 Oktober 2007
> > > > > >
> > > > > >
> > > > > >
> > > > > >
> > > > > >
> > > > > > Email sebelumnya...
> > > > > >
> > http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/33111
> > > > > > --- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com,
"leonardo_rimba"
> > > > > > leonardo_rimba@ wrote:
> > > > > >
> > > > > > --- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, Timbangan
Balance
> > > > > > <timbang.balance@> wrote:
> > > > > > > Karena Audifax dan Leonardo Rimba adalah mantan
> > > > > > > pendukung Kompatiologi dan teman dari Vincent Liong
> > > > > >
> > > > > > Hmmm,... perlu saya LURUSKAN disini bahwa saya adalah seorang
> > > > PRAKTISI
> > > > > > KOMUNIKASI EMPATI. Komunikasi yang EMPATIK adalah SPESIALISASI
> > saya.
> > > > I
> > > > > > am VERY MUCH EMPATHETIC, saya bisa langsung baca apa yang
ada di
> > > > diri
> > > > > > rekan komunikasi saya.
> > > > > >
> > > > > > Kompatiologi seperti dipraktekkan oleh Vincent Liong
adalah suatu
> > > > > > PARODI dari Komunikasi yang empatik. SUATU PARODI. Suatu
BANYOLAN,
> > > > > > suatu LAWAKAN. Komunikasi yang dipraktekkan oleh Vincent
Liong itu
> > > > > > adalah KEBALIKAN DARI KOMUNIKASI YANG EMPATIK. Total
> > kebalikannya ?
> > > > > > Kok bisa ? Ya bisa saja, namanya kan banyolan. Lawakan.
Parodi.
> > > > > >
> > > > > > Jadi, kalau anda memiliki PENGERTIAN tentang KOMUNIKASI YANG
> > > > EMPATIK,
> > > > > > anda akan otomatis mengerti tentang KOMPATIOLOGI.
Kompatiologi itu
> > > > > > adalah KEBALIKAN DARI KOMUNIKASI YANG EMPATIK walaupun
sesumbar
> > > > > > sebagai ILMU PEMECAH RAHASIA ALAM SEMESTA dalam komunikasi
> > > > menggunakan
> > > > > > empati. Hmmm hmmm hmmm.... Astagfirullah
> > > > > > alazzim Astagfirullah alazzim (nyebut 100 x dianjurkan)...
> > > > > >
> > > > > > Itu komentar saya. Saya _bukan_ pendukung Kompatiologi.
Nama saya
> > > > > > dicantumkan dalam IKLAN2 Kompatiologi _tanpa_ ijin saya. Saya
> > > > biarkan
> > > > > > saja. Kan saya ini BAIK HATI. Hmmm hmmm hmmm...
> > > > > >
> > > > > > Hasil dari Kompatiologi Vincent Liong itu apa ? Aduh, liat aja
> > ndiri
> > > > > > deh. Malu komentarinnya,... aku udah cukup banyak comment.
> > Kalo aku
> > > > > > bukain RAHASIA yang SEMUA ORANG SUDAH TAHU itu, ntar
jadinya gak
> > > > lucu
> > > > > > lagi. Sedangkan, bukankah kelucuan itu yang selama ini dicari,
> > hmmm
> > > > > > hmmm hmmm...
> > > > > >
> > > > > > Kompatiologi kan cuma nama saja. Bisa dinamakan
GULALOLOGI. Bisa
> > > > > > dinamakan TIPATIPULOGI... Intinya, dengan nama itu Vincent
Liong
> > > > INGIN
> > > > > > BELAJAR bagaimana caranya berkomunikasi dengan empati. Tetapi
> > > > caranya
> > > > > > kan SERBA TERBALIK. Wong dia yang mao belajar kok nulisnya
> > > > > > en ngomongnya DIA YANG MAO NGAJARIN ?
> > > > > >
> > > > > > Segalanya itu SERBA TERBALIK.
> > > > > >
> > > > > > Untuk mengerti Vincent Liong, SEGALANYA ITU HARUS DIBALIK.
> > Kalau dia
> > > > > > bilang dia TAHU RAHASIA ALAM SEMESTA, artinya itu
KEBALIKANNYA.
> > > > > >
> > > > > > Kalau dia bilang dia "diinjak-injak", arti sebenarnya ya
> > > > KEBALIKANNYA.
> > > > > >
> > > > > > Kalo dia bilang dia punya "nurani", artinya ya kebalikannya.
> > > > > >
> > > > > > Kalo dia bilang dia itu "ilmiah", ya artinya kebalikannya.
> > > > > >
> > > > > > SEMUA SERBA KEBALIKAN.
> > > > > >
> > > > > > Untuk mengerti Vincent Liong, segala ucapan dia itu HARUS
DIBALIK.
> > > > Itu
> > > > > > kunci dari THE PUZZLE.
> > > > > >
> > > > > > Vincent itu main TEKA-TEKI. Kunci pemecahannya cuma satu saja,
> > > > DIBALIK
> > > > > > SAJA. Kalau anda balik apa yang dituliskannya, maka ANDA AKAN
> > > > MENGERTI
> > > > > > APA YANG DIMAKSUDNYA.
> > > > > >
> > > > > > Itu saja komentar saya saat ini. Hmmm hmmm hmmm. Udah ya,
jangan
> > > > > > tanya2 lagi ya, TANYA LANGSUNG SAMA ORANGNYA AJA.
> > > > > >
> > > > > > Kalo dijawab, jawabannya DIBALIK AJA. That's THE REAL ANSWER.
> > > > > >
> > > > > > Leo
> > > > > >
> > > > > >
> > > > > >
> > > > > >
> > > > >
> > > >
> > > >
> > > >
> > >
> >
> >
> >
>

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Your school could

win a $25K donation.

Y! Messenger

Group get-together

Host a free online

conference on IM.

Yahoo! Groups

Wellness Spot

A resource for living

the Curves lifestyle.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: