Kamis, 29 November 2007

[psikologi_transformatif] MEDLEY - oleh Ratih Andjayani Ibrahim - bu deku

Menjelang usia ke 30, Aditya seorang karyawan swasta diserang "ketidakfokusan" hidup. Ketidakfokusan pada masa lalunya, hingga kehidupannya saat ini menjadi terasa serba salah. Soal karier, cinta di masa lalunya, dan studi ke luar negeri yang ia batalkan, menjadi begitu menggelisahkan Aditya. Ya, ia merasa kehidupan yang ia jalani sekarang ini tidak sesuai dengan cita-citanya dulu.

Bermula ketika Aditya menerima paket dari tantenya di Bandung. Sebuah paket yang berisi kenangan di masa lalu: salah satunya berisi surat-surat cinta ketika masa lajangnya. Juga foto-foto mantan pacarnya kembali terbayang di pikiran saat ia mengaduk-aduk paket tersebut. Secara tak sadar Aditya kembali mengingat-ingat cinta di masa lalu, karir, dan impian-impian lainnya. Mimpian-mimpian masa lalunya hadir silih berganti.

Rasa sesal sepertinya muncul segera. Kenapa ia  tidak memilih hidup bersama Fiona dan sekolah di Belanda. Bahkan rasa sesal tidak menikah dengan pacarnya yang model itu bergelanyut di otaknya. Kerutan wajah tertekan mewarnai hari-hari Aditya. Hingga ketidakberesan pekerjaan Aditya tercium oleh Waluyo, pimpinannya.

Suami beranak satu ini mengalami stres menghadapi kenyataan hidup yang ada. Ia gampang marah pada Maya, istrinya dan tingkah anaknya. Target pekerjaan di kantor pun tak terpenuhi. Kemuraman dan kekusutan wajahnya mencerminkan Aditya sedang dilanda banyak pikiran.

Seperti halnya terjadi pada kebanyakan orang, Aditya pun membanding-bandingkan kehidupan dirinya dengan kesuksesan orang lain. Ketika berjumpa Gatot—teman lamanya—Aditya merasa tersaingi karena ternyata Gatot itu telah menjadi vice director. Sementara Aditya masih unit manager di sebuah perusahaan asuransi. Maka mulai dari jam tangan mewah, mobil, rumah megah, hingga karier  pun memadati pikirannya.

Suatu saat, Aditya diberi kesempatan untuk mengubah masa lalunya untuk masa depan yang lebih baik. Bahagiakah Aditya, ketika semua hal yang ia pikirkan dan jika menjelma menjadi kenyataan?

Penggalan kisah di atas di ambil dari novel adaptasi dari film drama fantasi Meddley yang dibintangi Yosi Mokalu (Project Pop), Rachel Maryam, Alexandra Gottardo, Ferry Ardiansya, dan Alex Komang. Novel berjudul Medley, Garis Batas Impian Lelaki ini ditulis oleh Nicko Widjaja dan Eddy Nugroho.

Banyak pesan kehidupan yang bisa diambil dari novel ini. Diantaranya soal menghargai waktu saat ini, keluarga, kebahagiaan, dan menyukuri kehidupan kita sendiri.  Seperti yang tercantum dalam testimoni back cover  yang ditullis Ayub Yahya, sebuah novel yang kaya dengan perenungan. Novel Medley diterbitkan oleh Gradien Mediatama.



audifax - <audivacx@yahoo.com> wrote:

 
Tentang "Medley"

Oleh:
Audifax
Penulis buku "Imagining Lara Croft" dan "Semiotika Tuhan"
 
Hidup adalah kemungkinan, keputusan dan konsekuensinya. Itu yang saya tangkap ketika kemarin nonton "Medley". Secara umum film ini mampu mengemas muatan filosofis yang semestinya berat, ke dalam gaya penyampaian yang ringan. Pada intinya, pesan yang saya coba tangkap dari film itu adalah bagaimana orang bisa mencintai hidup yang tengah kujalani dan tidak menginginkan untuk merengkuh hidup yang-lain (other, liyan).

Orang seringkali menginginkan apa yang bukan menjadi miliknya. Ada orang yang gagal di sekolah tapi menginginkan gelar dan sukses di jalur akademis. Lalu karena frustrasi dirinya tidak mampu lantas menjelekkan orang yang mampu. Orang seperti ini tidak berpikir bahwa setiap hasil ada keputusan dan konsekuensi yang mendahuluinya. Orang yang saat ini mampu mencapai prestasi di bidang akademis atau ilmu pengetahuan misalnya, bukan didapat dengan cara instan, melainkan ada keputusan yang mendahuluinya, berikut konsekuensi dari keputusan itu yang mesti dijalaninya.

Dalam 'Medley', hal semacam itu tergambar dalam sosok Aditya. Ia merasa tak puas setiap kali bertemu dengan temannya yang lebih sukses. Ia juga menginginkan hidup menjadi orang lain. Hingga suatu saat, ia benar-benar menjadi orang lain dan barulah ia tahu bahwa setiap kehidupan memiliki konsekuensinya sendiri-sendiri. Aditya mengalami 'pergantian' hidup layaknya pergantian lagu secara medley. Hidupnya yang pertama sebagai penjual polis asuransi dan istri dari Maya, berganti menjadi hidup kedua. Seniman jutawan yang beristrikan Fiona. Kehidupan kedua ini juga tak berujung kepuasan hingga berganti menjadi kehidupan ketiga. Aditya menjadi presenter terkenal yang berpacaran dengan Dian, selebriti terkenal. Namun, hidup ketiga inipun ternyata berujung pada ketidakpuasan. Setiap menjadi ternyata selalu memiliki liyan dari menjadi itu. Liyan yang dihasrati untuk memuaskan diri.

Di sinilah kita bisa merenungkan kembali mengenai apa yang dikemukakan Nietzche mengenai hasrat. Manusia bukanlah mahkluk berakal budi atau beriman, melainkan mahkluk berhasrat. Ketidakpuasan selalu mengusiknya. Dan ketika ia hanya terjebak pada ketidakpuasan itu dan gagal melampauinya, maka manusia tak lebih dari salah satu spesies binatang.

Hidup adalah perjalanan dan manusia hanya punya sedikit waktu dalam hidup ini. Dalam perjalanan yang singkat inilah manusia mesti 'melampaui' kemanusiaannya dalam hidup itu dengan cara membuat hidupnya bermakna. Itulah yang diajarkan Nietzche melalui Ubermensch. Manusia yang terjerat dalam rasa iri, diperbudak nafsu dan tak mensyukuri hidupnya adalah para der letzte mensch atau Manusia Terbelakang. Para Manusia Terbelakang disamakan Nietzche dengan binatang.

Waktu yang hanya sedikit ini juga coba disampaikan pada "kehidupan ketiga" dari Aditya. Tokoh Aditya ini mencoba menyampaikan pada Maya betapa berartinya hidupnya sebagai seorang penjual polis asuransi. Maya di kehidupan pertama adalah istri dari Aditya yang berprofesi penjual polis asuransi sedangkan Maya di kehidupan ketiga adalah istri dari orang lain yang juga berprofesi penjual polis asuransi. Pada kehidupan ketiga ini Aditya menjadi seorang presenter terkenal yang berpacaran dengan selebriti. Ia menyadari bahwa hidupnya yang asli (kehidupan pertama) adalah hidup yang mesti dicintainya.

Nietzche pernah mengemukakan bahwa manusia mesti mengafirmasi hidupnya terlebih dulu agar bisa melampauinya. Mereka yang tak mengafirmasi atau menginginkan menjadi orang lain, tidak akan bisa melampaui ke-manusia-annya. Dengan demikian, melampaui hidup mesti dilakukan dengan pertama-tama mencintai hidup itu sendiri. Hidup yang memang menjadi keputusan beserta konsekuensinya. Cinta adalah apa yang bisa membuat hidup menjadi lebih berterima dan bermakna.

Dalam 'Medley' juga terdapat pesan filosofis mengenai kematian. Setiap hidup dan segala keputusan dalam hidup selalu berujung pada kematian. Dalam dekonstruksi Derrida, hidup adalah difference kematian. Hidup berjalan menuju Liyan yang akan datang, yaitu kematian. Dan persis karena inilah hidup menjadi berkemungkinan untuk bermakna.

Kematian Manusia adalah sesuatu yang membuat iri para tuhan. Karena hanya yang dapat mati memiliki rentang waktu di mana ia dicintai lebih dari waktu kapanpun yang pernah ada di kehidupan ini. Dan apa yang penting...kau tidak akan bisa kembali lagi ke waktu itu. Setiap detik adalah keputusan. Setiap detik adalah konsekuensi. Setiap detik adalah perjalanan menuju Liyan yang akan datang. Setiap detik adalah bagaimana kita mencintai hidup, bukan karena terbiasa hidup, melainkan karena terbiasa mencintai.
 
 
 
 
(Eh, waktu Aditya berpindah dari kehidupan pertama ke kedua, kan orang pertama yang dilihatnya adalah pasangannya di kehidupan kedua itu, si Fiona. Naaa...pas Aditya pindah dari kehidupan kedua ke ketiga..kan yang pertama dilihat si mbak Psikolog itu...kirain itu pasangannya Aditya di kehidupan ketiga...ehhhh...ternyata bukannn yaaaa??..hehehehehe)




Be a better pen pal. Text or chat with friends inside Yahoo! Mail. See how.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Find great recruits

for your company.

Y! Messenger

PC-to-PC calls

Call your friends

worldwide - free!

Women of Curves

on Yahoo! Groups

A positive group

to discuss Curves.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: