Selasa, 25 Desember 2007

[psikologi_transformatif] Samsir Mohamad: Revolusi Indonesia - Revolusi yang Dikompromikan

Samsir Mohamad: Revolusi Indonesia - Revolusi yang Dikompromikan

Sumpah Pemuda itu berlangsung sekitar 79 tahun yang lalu Kongres
Pemuda kedua yang melahirkan Sumpah Pemuda. Kita bernama Indonesia itu
belum lama yaitu tahun 1850. Nama itu pun bukan kita (bangsa
Indonesia-ed) yang membuat, tapi orang lain. Sumpah Pemuda saya sebut
sebagai peristiwa monumental. Rendra pernah menulis bahwa Sumpah
Pemuda itu lebih agung, lebih besar daripada Borobudur. Sebelum Sumpah
Pemuda lahir—barangkali karena posisi geografis kita tercerai-berai
dalam kepulauan—organisasi pemuda yang ada ketika itu mengikuti posisi
geografisnya: Jong Ambon, Jong Sumatera, Jong Celebes.

Di Surabaya lahir sebuah perkumpulan pemuda yang bertujuan memperluas
pengetahuan umum, mempelajari kebudayaan, dan bahasa. Perkumpulan itu
diberi nama Trikoro Darmo. Perkumpulan itulah yang kemudian tumbuh
menjadi Jong Java. Perkumpulan-perkumpulan pemuda yang ada—atas
inisiatif Jong Java dan Jong Sumatera—itulah yang merintis ke arah
penyatuan berbagai organisasi pemuda yang ada. Puncaknya pada Kongres
Pemuda kedua yang melahirkan Sumpah Pemuda.

Satu hal perlu dicatat di sini: di dalam membidani lahirnya Sumpah
Pemuda partai-partai politik yang ketika itu sudah ada tidak terdengar
muncul, apalagi berperan. Bahwa dikemudian hari orang-orang dari
kalangan Indonesia Muda itu menyebar ke berbagai partai politik, itu
benar. Tetapi, ketika membidani Sumpah Pemuda, sejauh yang saya
ketahui dari berbagai literatur, tidak ada. Hal itu berulang kembali
ketika membidani Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus, tidak ada satupun
partai politik yang muncul. Bahwa waktu itu dilarang oleh Jepang, itu
benar, tetapi dalam momen seperti itu yang menentukan nasib bangsa,
toh tidak muncul.

Itu merupakan dua peristiwa yang berulang. Siapa yang berperan di
situ? Bukan untuk mengistimewakan kawan muda, tetapi memang anak muda
yang berperan. Ketika Sumpah Pemuda, jelas para pemuda. Ketika
Proklamasi, pemuda lagi dengan mahasiwa. Berulang lagi ketika
menurunkan Soekarno dengan cara-cara yang aneh, itu juga pemuda dan
mahasiswa. Ketika menurunkan Soeharto, kembali lagi pemuda dan
mahasiswa. Apakah itu saja? Cukup di situ peranan paramuda: menaikkan
dan melengserkan, setelah itu ciserasera? Itu berpulang pada kalian
yang muda-muda. Saya tidak akan mengatakan harus begini, harus begitu,
tidak. Tapi, pengalaman itu mengatakan kepada kita, semua kejadian itu
telah membawa kita pada hari ini di mana kita tidak betah rasanya.
Saya sendiri terus terang tidak betah pada keadaan yang saya hadapi,
saya jalani sekarang ini. Orang berusaha sendiri dengan modal sendiri,
susah payah sendiri, diobrak-abrik. Petani bekerja keras, menanam,
memelihara tanaman, dibiarkan saja dimangsa oleh tengkulak. Bank-bank
kita—bank perkreditan kita ratusan jumlahnya—tetapi mereka (rakyat
jelata) tak tersentuh, dan tetap saja menjadi korban bank keliling
yang bunganya tidak kira-kira—20—30%sebulan.

Kembali ke Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda itu yang mengerucutkan
organisasi-organisasi pemuda menjadi terhimpun dalam wadah Indonesia
Muda. Indonesia Muda awalnya diperbolehkan oleh pemerintah kolonial,
dengan syarat tidak berpolitik. Tapi dalam praktiknya, mereka
berpolitik juga sampai akhirnya digerebek, digeledah kantornya,
ditahan pengurusnya. Pemerintah kolonial waktu itu melarang anak-anak
dari amtenar-amtenar (pegawai negeri) untuk menjadi anggota Indonesia
Muda. Meskipun demikian Indonesia Muda tidak surut, malah berkembang.
Semakin ditekan dia semakin keras melawan.

Pengukuhan kita sebagai satu bangsa dilakukan oleh pemuda lewat Sumpah
Pemuda. Sejak itulah kita menganggap diri kita satu bangsa. Tetapi,
bagaimana itu terjadi, asal mulanya, tampaknya kita merasa tidak perlu
untuk memahaminya. Saya sendiri mengetahui itu sebagian dari literatur
yang ditulis orang asing sebagaimana saya mengetahui Sarekat Islam,
sebuah organisasi setelah Budi Utomo, organisasi tertua dan terbesar
yang pernah ada. Itu saya ketahui dari literatur orang asing. Mengapa
sejarawan Indonesia tidak menulis itu? Dengan begitu kita belajar dari
bangsa dan negeri sendiri. Saya tidak mengatakan tidak perlu belajar
dari bangsa lain, dari revolusi-revolusi negara lain. Itu baik.
Tetapi, belajarlah dari bangsa dan negeri sendiri, supaya kita tahu
siaapa kita ini, bagaimana kita ini, apa perjalanan yang sudah kita
tempuh, mana yang baik, mana yang salah, supaya tidak mengulangi
kesalahan.

Jika sekarang banyak pelajar kita yang tidak tahu kapan dan siapa yang
membuat nama Indonesia, itu tidak berarti mereka bodoh, karena mereka
adalah korban. Korban dari pendidikan kita yang tidak sehat. Contoh
yang mudah saja, Diponegoro itu tahun 1830 tamat, lalu bagaimana
asal-usulnya dia bisa menjadi pahlawan nasional? Nama Indonesia saja
baru ada 20 tahun kemudian. Lebih baik kita tidak mencari siapa yang
salah dan berdosa, lebih baik kita perbaiki. Jadi, sejarah Indonesia
baru bisa dikatakan sebagai sejarah Indonesia adalah sejak 1850.
Sebelumnya adalah pra Indonesia, sebab belum ada nama Indonesia.

Di Indonesia ada MSI (Masyarakat Sejarah Indonesia), perkara ada kata
PKI dibelakang G30S saja ribut. Mengapa itu yang diributkan? Apa
dikira kalau ada PKI dunia Indonesia ini kiamat? Lihatlah, hitunglah
dari tahun 1966 (41 tahun), apakah ada orang-orang bekas PKI yang
membuat huru-hara? Tanya pada polisi, apakah ada yang merampok, apakah
ada yang menjadi penyelundup? Mereka sudah finish. Saya teringat
kepada formulasi Yuyun Sumasumantri. Menurut dia ada empat kategori
manusia. Pertama, ada orang yang tahu ditahunya, itu bagus. Kedua, ada
orang tidak tahu ditahunya, itu aneh. Ketiga, ada orang yang tahu
ditidaktahunya, itu juga bagus. Paling sial yang keempat, orang yang
tidak tahu ditidaktahunya. Kita ini masuk yang mana? Kalian bisa
menilai sendiri-sendiri.

Perjalanan kita sejak Sumpah Pemuda hingga hari ini apa dan bagaimana?
Sebelum Sumpah Pemuda, Soekarno mendirikan partai politik di Bandung,
namanya PNI (Partai Politik Nasional). Tujuannya jelas yaitu untuk
mencapai kemerdekaan. Sikapnya juga jelas, non-koorperatif terhadap
pemerintah kolonial. Sebelumnya, tahun 1920 PKI muncul dan berdiri.
Dalam kongresnya di Semarang mengambil dua keputusan. Pertama,
bergabung dengan Komintern (Komunis Internasional); dan kedua,
bersikap kooperatif terhadap pemerintah kolonial. Itulah yang terjadi.
Silahkan kalian menilainya. Saya suka lurus dan benar. Lurus itu tidak
selingkuh, benar itu seperti yang terjadi. Kita tahu PKI enam tahun
kemudian, meskipun resmi mengambil sikap kooperatif tetapi dia
melakukan pemberontakan tahun 1926. Kemudian digulung oleh Belanda:
digantung, dihukum ke Digul, dan dipenjara. Ketika Soekarno ditangkap
untuk kesekian kalinya—sementara pemimpin PNI yang lain beranggapan
bahwa keputusan pengadilan Belanda itu membuka kemungkinan menangkapi
pemimpin-pemimpin PNI yang lain—pada waktu itu mereka menyimpulkan,
bubarkan saja PNI. Ada dua orang yang tidak setuju pada sikap itu,
yaitu Hatta dan Sjahrir. Karena itulah mereka mendirikan partai lagi
dengan singkatan PNI juga, yaitu Pendidikan Nasional Indonesia. Namun
demikian, Belanda tidak bodoh dan mengetahui tujuan organisasi itu,
sehingga Hattan dan Sjahrir pun dibuang ke Digul. Soekarno keluar dari
penjara sudah berdiri Partindo, dan dia pun aktif di Partindo. Belanda
menangkap lagi Soekarno dan diasingkan ke Ende. Dari sana dipindahkan
ke Bengkulu. Itu perjalanan sampai akhirnya Jepang mendarat di Indonesia.

Jepang mendarat di Banten pada 4 Maret 1942. Empat hari kemudian
tentara Belanda menyerah tanpa syarat, tanpa membalas tembakan
sekalipun, tanpa bertempur. Sebuah tentara dari manapun kalau
berhadapan dengan musuh yang menyerbunya tidak melawan dan hanya kabur
terbirit-birit, menyerah, menurut saya itu tentara yang hina dina
secara universal. Beberapa eksponen dari tentara yang hina dina itu,
ada seorang yang berpangkat sersan, kemudian menjadi presiden di
negeri ini (Soeharto-ed). Kalian tahulah siapa dia. Ada satu masalah
yang sampai sekarang tidak pernah dipersoalkan—bukan untuk mencari
siapa salah siapa benar, tapi untuk mencari yang terjadi seperti
apa—yaitu sejarah. Sejarah itu ialah pencatatan tentang
peristiwa-peristiwa penting yang menyangkut orang banyak, ditulis
secara lurus dan benar. Lurus, tidak boleh selingkuh; benar, seperti
yang terjadi. Tentang penilaiannya, terserah yang hadir, mau disukai,
mau tidak, mau disalahkan, mau dibenarkan. Perwira-perwira tentara
KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger - Tentara Kerajaan Hindia
Belanda-ed) itu menjadi petinggi-petinggi. Kenapa orang Jepang tidak
menangkap mereka, itu aneh. Dikatakan aneh, karena tentara Jepang
merupakan tentara kekuatan musuhnya. Tapi itu tidak terjadi, malah
mereka mendapatkan jabatan pada jaman Jepang. Nah, mengapa itu
terjadi, saya sendiri tidak tahu. Itu "pekerjaan rumah" kalian jika
mau tahu. Cari tahu mengapa. Itu petinggi-petinggi, tidak main-main.
Urip Soemodiharjo, jenderal; Nasution, jenderal (lulusan PMA, militer
di Bandung), dan sejumlah perwira lainnya. Itu penting diungkap, bukan
untuk mengungkit-ungkit, menggugat-gugat, tapi untuk mencari tahu
mengapa itu terjadi. Kalau ada manfaatnya kita tangguk, tapi kalau ada
masalah jangan diulangi. Kalau saya mengatakan orang yang
menandatangani prolamasi pada 17 Agustus 1945 dini hari, lalu sekitar
empat tahun kemudian dia menandatangani menerima penyerahan kedaulatan
dari Kerjaan Belanda, dari Ratu Belanda, katakan apa itu namanya?
Baguskah, tidak baguskan, terserah kalian menilainya. Buat saya, tidak
bagus! Buat apa tanda tangani proklamasi kalau ujung-ujungnya mau
tanda tangan lagi menerima kedaulatan dari Kerajaan Belanda. Itu
kenyataan.

Saya berharap, ke depan kita memulai membaca kenyataan seperti
kenyataan itu sendiri, jangan diselingkuhkan, jangan
diplintir-plintir, demi apapun, sebab kebenaran adalah kebenaran.
Barangkali karena keselingkuhan-keselingkuhan di masa lalu itulah kita
sekarang terpuruk ke dalam suatu keadaan yang nyaris apapun buntu.
Pembangunan buntu, moneter buntu, industri buntu. Mencari gas dan
minyak yang keluar malah lumpur hingga merendam desa-desa. Kemana-mana
buntu. Kalau mau menolong orang miskin dengan raskin (beras miskin) 20
kilogram satu bulan, dengan harga seribu per kilogram, dalam
kenyataannya tidak dua puluh kilo. Saya katakan begitu, karena saya
memperoleh raskin. Dalam kenyataannya hanya lima kilogram. Paling
tinggi tujuh kilogram satu bulan sekali. Subsidi 300 ribu per keluarga
miskin, orang yang mendapat jatah bicara pada saya: "iya, tanda
tangannya 300 ribu, tetapi yang saya terima hanya 150 ribu." Kemana
yang lainnya? "Dipotong." Buat apa? "Biaya-biaya," katanya. Mengapa
masyarakat mau? Nah, di sini persoalan.

Ada hal yang elementer—barangkali saya ditertawakan kalau mengatakan
ini, tapi tak apa-apa—kalian semua diwajibkan membuat KTP bukan? Kalau
tidak membuat, ada sanksi. Ada razia, ditangkap. Si A menyuruh si B
membuat sesuatu. Kemudian si A bilang, kalau tidak awas kamu! Dan,
bayar oleh kamu! Nah, yang menyuruh, menyuruh membayar juga. Harganya
pun bukan harga yang sebenarnya, karena berlipat-lipat. Apa namanya
yang seperti itu? Kalau kau menyuruh orang menggosok sepatu atau
sepeda motormu, kan kamu yang bayar orang itu. Tapi ini tidak, kamu
dirusuh juga membayar. Itu berlangsung. Masyarakat-bangsa ini mau
dibegitukan, yang sudah, aku tidak bisa bilang apa-apa. Aku pantang
menghasut-hasut.

Jadi kita melihat, di era kolonial para pemimpin kita itu hebat. Saya
menghormati mereka. Siapa mereka itu? Ki Hajar Dewantara, itu senior,
Tan Malaka, Setiabudi, berturut-turut pada generasi berikutnya sampai
ke Soekarno, Hatta, Sjahrir, Amir Syarifudin, Mohamad Yamin,
Samratulangi, Dr. Mansur dan lain-lain. Orang-orang itu ketika di
jaman kolonial kalau hanya mau hidup senang dengan Belanda mudah. Gaji
besar, minimum 300 Gulden satu bulan ketika harga beras 4 sen satu
liter. Kalau ekuivalen dengan beras, berapa itu, bisa dihitung
sendiri. Itu belum termasuk fasilitas. Ibrahim (Tan Malaka) itu
bekerja dengan gaji 300 Gulden dengan fasilitas dan hak-haknya
dipersamakan dengan orang Belanda. Tapi mereka tidak memilih itu.
Mereka menepiskan itu, terjun ke dalam pergerakan nasional, berlanjut
dengan perjuangan. Itulah mereka. Nah, saya menamakan mereka itu kaum
terpelajar yang sehat dan patriotik. Itu saya hormati.

Tetapi, setelah Jepang datang—fasis Jepang menduduki Hindia
Belanda—mereka bekerjasama dengan Jepang. Tidak semua. Sutan Sjahrir
tadinya tidak mau bekerjasama dengan Jepang, walaupun ujung-ujungnya
dia juga mengajar di sebuah badan buatan Jepang dengan dalih karena
Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia. Dalam nalar saya
ketika itu, lho, kemerdekaan kok diberi oleh Jepang? Bukankah
kemerdekaan itu punya sendiri, harus diambil sendiri? Kalau
kemerdekaan pemberian, kedengarannya agak aneh buat saya waktu itu.
Yang namanya diberi itu di bawah tangan. Tidak ada yang diberi itu
tangannya di atas. Yang menerima itu tangannya di bawah. Itulah
perselisihan yang timbul ketika itu, antara para senior dengan
paramuda—yang isinya adalah pemuda dan mahasiswa. Saya terlibat di
situ. Saya masih "anak bawang"ketika itu. Usia saya masih 19-an tahun.
Setelah berdebat soal proklamasi, akhirnya kelompok senior mau
memprolamirkan kemerdekaan. Sehari setelah itu UUD disahkan,
pemerintahan dibentuk. Kabinet waktu itu terdiri dari 8 menteri. Kita
tidak tahu lagi apa yang dilakukan oleh pemerintah. Saya dengan
kawan-kawan waktu itu menyerbu Jepang, mengambil alih stasiun kota,
stasiun trem. Di Kramat Raya diambil alih, Manggarai diambil alih. Ada
komite van aksi waktu itu—kaka dulu memakai istilah "van", karena
kebanyakan adalah lulusan sekolah Belanda. Komite dari aksi: komite
van aksi. Ketuanya adalah Chairul Saleh, wakil ketuanya Johar Noer.
Nah, kita yang bertindak ketika itu, sampai-sampai si paramuda inilah
yang berpikir kita sudah merdeka dengan proklamasi, sudah punya UUD
1945, sudah punya kabinet—yaitu pemerintahan—kok tidak punya tentara?

Tiga orang di antara paramuda itu—dari Menteng 31 menghadap ke Menteri
Pertahanan Amir Syarifudin di jalan Cilacap—mendesak supaya segera
dibentuk tentara Indonesia, karena kita sudah merdeka. Itu terjadi
bulan September tahun 1945, sekitar sebulan setelah proklamasi. Kita
tidak tahu apa yang dipikirkan oleh senior-senior yang sudah jadi
presiden, wakil presiden, menteri—apa yang mereka pikirkan, apa yang
mereka rencanakan—ketika itu. Kita hanya melihat bahwa kita sudah
memiliki negara, sudah merdeka, maka harus memiliki negara. Kita
desak, disampaikan pada Amir Syarifudin di jalan Cilacap, maka
keluarlah pada tanggal 5 Oktober 1945 Dekrit Presiden: membentuk
Barisan Keamanan Rakyat (BKR), bukan tentara. Ketika itu saya tidak
tahu apa alasannya. Belakangan ada justifikasi supaya kita tidak
dianggap agresor, tidak dianggap agresif oleh sekutu. Dimana-mana
negara itu punya tentara, kecuali Monako barangkali. Kami mulai kecewa
waktu itu. Kecewa terhadap para pemimpin senior. Lalu datanglah
perintah-perintah menyusul kemudian—kebetulan waktu itu saya ada di
Bandung, tapi bulannya lupa—kami disuruh mundur, meninggalkan kota
Bandung. Kita itu bukan kalah dalam pertempuran oleh tentara Belanda.
Mereka (tentara Belanda-ed) duduk-duduk di sana, minum kopi, kita
disuruh mundur. Siapa yang menyuruh? Pemerintah kita sendiri.

Setelah Proklamasi, kelompok Menteng 31, di mana saya bergabung,
menjelma menjadi API (Angkatan Pemuda Indonesia). API kemudian
menjelama lagi menjadi Laskar Rakyat Jakarta Raya, yang kemudian
menjelma dan melebar lagi menjadi Laskar Rakyat Jawa Barat. Itu proses
dalam masyarakat. Dalam pemerintahan sendiri hanya dari runding ke
runding, mundur ke mundur. Mengapa begini? Ini revolusi! Kenapa saya
katakan revolusi? Ketika kita disuruh mundur dari Bandung oleh
pemerintah kita sendiri—bukan diperintah oleh Belanda—yang mundur itu
bukan hanya pasukan-pasukan bersenjata, tapi rakyat juga ikut mundur,
ikut pergi, tidak mau hidup di bawah kekuasaan Belanda. Itu salah satu
indikator penting bahwa rakyat bangkit membela kemerdekaan, bangkit
membela proklamasi. Kebangkitan ini oleh pemimpin-pemimpin kita
diredam, disuruh mundur, toh menurut: mundur berbondong-bondong
penduduk Bandung ini menyeberangi sungai Citarum, meninggalkan harta
kekayaan. Bayangkan itu! Harta benda yang mereka kumpulkan
semumur-umur ditinggalkan saja, karena memihak kemerdekaan, memihak
Nagara Republik Indonesia. Tidak mau di bawah Belanda. Tapi pemimpin
kita tidak membaca itu. Itu bukan hanya di Bandung. Di Semarang,
Surabaya, Makasar, Medan, Menado, dimana-mana seperti itu. Bukankah
itu suatu kebangkitan dari masyarakat?

Nah, pertanyaannya, mengapa masyarakat bisa bangkit seperti itu? Apa
datang wahyu dari langit, atau bagaimana? Saya berpendapat, itulah
hasil, buah kerja para pemimpin kita di era kolonial. Kalau dihitung
dari 1912 sampai 1942, 30 tahun tidak henti-hentinya mereka—walaupun
bermacam-macam partainya, organisasinya berbeda-beda—tapi satu arah
melawan penjajahan. Caranya beragam: ada yang keras brontak, tegas,
yang lunak, lembek pun ada. Tapi semua itu satu arah. Sarekat Islam
sendiri itupun merumuskan, Umar Said Tjokroaminoto: tidak boleh lama
lagi kita ini menjadi sapi perah yang hanya diambil susunya dan diberi
makan oleh ..... General yang jauhnya ribuan kilometer. Itu satu.
Beberapa tahun kemudian kongres Sarekat Islam membuat keputusan:
berjuang melawan kapitalisme yang zalim. Itu kongres Sarekat Islam di
tahun 1920-an.

Nah, kalau sekarang, yang saya dengar dan membaca koran, gerakan Islam
berjuang melawan komunis, sampai-sampai dihalalkan darahnya. Saya jadi
berpikir, mengapa bangsaku ini bisa begitu? Siapa yang mengajari
seperti itu? Dulu tahun 1945 itu rukun saja semua. Entah dia
Hisbullah, Sabililah, BPRI (Barisan Pemberontak Republik Indonesia),
pasukan Istimewa, API, Laskar Rakyat, rukun melawan penjajah. Jadi,
satu garis, satu benang merah, bahwa kebangkitan masyarakat itu
digugah oleh para pendahulu kita dulu. Ada formulasi bagus dari
seorang pemimpin kita waktu itu: "rakyat Indonesia bagaikan ayam yang
mati di lumbung padi". Negeri ini subur, kaya sumber-sumbernya, kita
melarat. Itu pemimpin-pemimpin kita dulu. Itu ucapan Soekarno dulu, di
era kolonial. Tapi belakangan, ketika musim tari lenso—dipopulerkan
oleh Soeharno, sampai orang-orang dari ormas, tokoh-tokoh politik
dianjurkan untuk berlenso—ada lirik lagu: "di Indonesia banyak
makanan", saya plesetkan: "di restoran banyak makanan". Saya dipanggil
saya karena itu dan dimarahi: "bikin kacau kamu, ya!" Memang betul. Di
restoran yang banyak makanan. Di kampung-kampung susah, orang harus
bekerja dulu: terima upah, baru beli beras.

Pemimpin kita yang begitu hebat ketika melawan kolonial, mengapa
menjadi begitu jinak ketika menghadapi tentara Belanda yang dibantu
oleh sekutu setelah merdeka? Mengapa itu? Tidak pantas itu! Kehebatan,
ketahanujian, pengorbanan ketika melawan kolonial begitu hebat, tapi
setelah menjadi presiden, menteri, kok menjadi jinak? Sutan Sjahrir
itu menandatangani Perjanjian Linggarjati, tahun 1946. Isinya pasal
pertama yang saya ingat: "wilayah kekuasaan de facto—tanpa kekuasaan
de jure—Republik Indonesia Jawa, Madura dan Sumatera. Itu yang
ditandangani. Itu yang diterima. Padahal sebelum Sjahrir itu ke Digul.
Mengapa mendadak sontak menjadi jinak seperti itu? Saya ketika itu
berada di pihak yang menolak perjanjian. Jadi, apa boleh buat, saya
jadi buronan republik. Menyusul setelah itu Perjanjian Renville juga
begitu. Kekuatan tentara kita di kantung-kantung gerilya di pulau Jawa
ini harus keluar, berkumpul ke Yogyakarta semua. Saya termasuk dalam
kelompok yang menolak itu. Kalau mau bukan kita yang keluar, tapi
Belanda yang pergi. Nah, mengapa pemimpin kita sampai begitu? Why?
Mengapa mereka yang dulu begitu perkasa di era kolonial menjadi jinak
seperti tidak punya tulang punggung? Haah-heeh saja pada Belanda.
Ketika itu saya masih muda, jengkel sekali. Apalagi ketika KMB
(Konferensi Meja Bundar-ed). Coba kalian pikir, kau tandatangani
sebuah perjanjian, terus kautandatangani sesuatu yang menganulir yang
ditandatangan pertama, apa itu namanya?

Nah, sejarah tentang itu tidak diungkap. Saya tidak mempersalahkan
orang-orang yang sampai sekarang memuja-muja Hatta, memuja-muja
Sjahrir, silahkan. Akupun memujanya, tapi Sjahrir yang mana, Hatta
yang mana? Hatta yang ketika sekolah di Belanda aktif dalam Liga
Anti-Kolonial. Itu Hatta yang hebat. Tapi Hatta yang menandangani KMB,
maaf. No way! I do not respect it! Jadi saya proporsional. Saya tidak
mau berpikir absolut. Kalau bagus itu bagus saja dari ujung sampai
ujung. Tidak ada di dunia ini yang seperti itu. Kalau baca perjanjian
KMB, yang saya ingat saja, itu utang-utang Belanda selama menyerang
kita bertahun-tahun harus dibayar oleh kita. Terus tentara kita, TNI
harus dicampur aduk dengan KNIL. Karena itu saya tidak suka, dan saya
letakan. Saya bersedia menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia), tapi
tentara RIS (Republik Indonesia Serikat-ed) sama sekali tidak. Saya
mundur. Nah, itu perjalanan kita.

Sudah lama saya meminta tolong kepada beberapa kawan untuk dicarikan
naskah-nasakah perjanjian itu: Linggarjati, Renville, KMB yang
otentik, supaya bisa dibaca, bisa dipelajari, bisa ditangguk
pengalaman dari situ. Kalau ada yang baik bisa diambil, kalau ada yang
buruk kita tinggalkan, jangan diulangi. Hanya untuk itu! Tadi saya
berkata seperti itu bukan saya menjelekan Hatta. Saya hanya bertanya,
mengapa kamu yang begitu hebat dulu di negeri Belanda sampai ditangkap
oleh Belanda karena anti-kolonial, di Indonesia gara-gara menentang
kolonialisme ditangkap dan dibuang ke Digul, tapi sekarang loyo
begitu, main tanda tangan saja perjanjian yang menguntungkan Belanda.
Itu pertanyaan besar. Apa sebabnya, saya sendiri belum bisa jawab.
Tapi, terjadilah seperti itu. It was happen like that?

Nah, itu perjalanan. Tanpa mempelajari perjanjian-perjanjian itu
(Linggarjati, Renville, dan KMB) omong kosong kita mempelajari
pemerintahan negara Indonesia. Apa yang mau dipelajari: puji-memuji,
hebat-menghebat, puja-memuja, gitu-gituan saja? Itu sama dengan "si
buta dan si gagu". Menurut saya, itu tidak baik. Kalian harus lebih
mengerti dan lebih tahu mengapa semua itu terjadi, bagaimana sampai
terjadi. Kalau kita membuat perbandingan sedikit, kita ambil contoh
negeri yang kecil: luasnya lebih kecil, jumlah penduduknya juga lebih
kecil dari kita—jauh lebih kecil—dijajah oleh Prancis, Prancis dia
lawan. Dia tidak menempuh jalan kompromi, tapi dia menempuh jalan
perjuangan. Rakyatnya bangkit, melawan, kalah Prancis. Benteng yang
dibangga-banggakan Prancis Dien Dien Fu itu direbut oleh mereka, dan
jenderalnya ditangkap di situ. Karena wilayah itu strategis menurut
pandangan tuan-tuan modal (kapitalis), tidak boleh lepas. Datanglah
tentara Amerika ke sana. Enam sampai tujuh ratus ribu jumlahnya
dikirim ke tempat itu, ke negeri itu untuk menghancurkan gerakan
kemerdekaan. Apa yang terjadi? Karena mereka (para pemimpin Vietnam)
menempuh jalan perjuangan, mereka membaca kesadaran rakyat,
kebangkitan rakyat, serdadu Amerika itu terbirit-birit kabur dari situ
walaupun jumlahnya 700 ribu orang. Nah, kita sebesar ini, seluas ini,
70 juta waktu itu kita punya penduduk, hanya dengan 100 ribu tentara
Belanda diam. Kok kita mendek-mendek. Mengapa pemimpin-pemimpin kita
jadi begitu? Aneh sekali. Saya serahkan pada kalianlah untuk mencari
jawabnya. Mereka yang begitu hebat terus mendek-mendek hanya dengan
100 ribu tentara Belanda. Total itu yang bule dan kulit hitam—KNIL dan
KL. Sedangkan di Vietnam, 700 ribu tentara Amerika yang
persenjataannya jauh lebih hebat dari tentara Belanda toh mereka
(rakyat Vietnam) bisa mengatasinya.

Nah, dari sana saya mencoba-coba membuat sebuah hipotesis: suatu
revolusi kalau dikompromikan, maka revolusi itu bunuh diri. Itulah
yang terjadi. Itu yang terjadi di Prancis, revolusinya dikompromikan,
habislah: Montesque, Dante digueletin semua. Padahal mereka itu adalah
pencetus revolusi. Kalau di sini tidak sampai digueletin, karena tidak
ada gueletin, tapi ditembaki. Gara-gara menolak perjanjian Linggarjati
diserbu dan ditembak. Gara-gara menolah Perjanjian Renville diserbu,
ditangkap, dan ditembak di tempat. Jadi, main tembak mati di tempat
itu bukan Soeharto saja, sudah ada jauh sebelumnya.

Itu perjalanan. Untuk apa itu semua? Supaya kita tahu di mana benarnya
di mana salahnya. Salahnya jangan diulangi, benarnya bisa diteruskan.
Seperti yang ditulis oleh Utuy Tatang Sontani tentang Sangkuriang:
ketika Sangkuriang mati, Dayang Sumbi mati, semua menangis, maka
datanglah lengser dan berkata, "sudahlah, jangan ditangisi lagi, tidak
hidup lagi yang mati. Sekarang tinggal yang jeleknya kita tunda, yang
baiknya tuluy keneun sarerea (tinggal diteruskan oleh semua). Nah, itu
formulanya. Jadi saya hanya mengemukakan fakta-fakta,
kejadian-kejadian dan proses berlangsungnya.

Terakhir, kita punya Undang-Undang Dasar. Saya bertanya kepada diri
saya sendiri: mengapa kalangan terpelajar kita hari ini tidak membahas
Undang-Undang Dasar? Sekalinya dibahas untuk diobok-obok. Mengapa
timbul kemalasan di situ? Saya tidak tahu itu mengapa. Padahal isinya
itu—berulang-ulang harus saya sitir, harus diulangi lagi
mentang-mentang saya duduk di Dewan Konstituante, badan perancang
konstitusi negara—semua orang bisa baca kalau mau. Kok saya tidak
pernah dengar ada kelompok diskusi membahas apa Undang-Undang Dasar
kita itu. Baca, diskusikan, apa ini artinya ini, dan apa itu artinya.
Akibat kelalaian—kalau boleh disebut kelalaian—sekarang ini sudah 3600
lebih undang-undang dan perda-perda yang dibuat tidak sesuai dan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Karena kalian tidak mau
membahas Undang-Undang Dasar, ya sudah, dilangkah-langkahi, dibiarkan
saja, diam-diam saja. Itu persoalan kita sekarang. Kalau memang betah
seperti itu saya tidak apa-apa, up to you, up to all of you.

Catatan: [*] Tulisan in adalah transrip presentasi Samsir Mohamad
dalam acara diskusi dengan tema Sumpah Pemuda dan Nasionalisme
Indonesia yang diselenggarakan Rumah Kiri dan Ultimus, tanggal 05
November 2007 di toko Buku Ultimus Bandung.

Tulisan ini dimuat di www.rumahkiri.net
Link:
http://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&task=view&id=1534&Itemid=389

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

Be a career mentor

for undergrads.

Y! Messenger

Send pics quick

Share photos while

you IM friends.

Cat Groups

on Yahoo! Groups

discuss everything

related to cats.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: