Selasa, 13 November 2007

[psikologi_transformatif] Tambang emas bernama perang

Tambang Emas Bernama Perang

Banyak perusahaan Amerika meraup untung dahsyat dari empat tahun situasi kisruh di Irak. Korupsinya pun gila-gilaan.
 
 
Retakan panjang merekah di dinding yang baru setahun lalu dibangun. Sebagian tiang struktur hampir rubuh. Semua toilet di lantai atas mampet. Dari langit-langit yang jebol di sana-sini terlihat serpihan kotoran manusia yang keluar dari pipa-pipa bocor. Baunya bukan main.
Inilah kondisi sebagian barak di gedung Akademi Polisi tiga lantai yang baru di Bagdad, ibu kota Irak. Dibangun oleh megakontraktor jasa pembangun asal Amerika Serikat, dan didanai oleh uang para pembayar pajak di Negeri Paman Sam pula, gedung itu baru berumur setahun, tapi kondisinya menyedihkan.
The New York Times dan International Herald Tribune mencatat, pada September 2006 Parsons Corporations, perusahaan jasa konstruksi asal Pasadena, California, berjanji akan memperbaiki gedung yang dibangunnya dengan harga US$ 72 juta. "Tanpa tambahan biaya," kata Earnest O. Robbins II, pejabat tinggi Parsons di depan Kongres.
Setahun berlalu, kondisi tak berubah. Para perwira Amerika yang bertugas di Akademi itu turut kesal. Bagaimana tidak? Barak-barak itu adalah tempat tinggal bagi ratusan calon polisi Irak. Mereka dilarang menggunakan WC lantai atas karena kotorannya akan bocor ke lantai bawah. Akibatnya, mereka harus antre di empat toilet lantai bawah.
"Ini menjijikkan," kata seorang perwira Amerika yang marah, "Saya tak keberatan uang pajak saya dipakai untuk hal yang baik, tapi untuk yang ini uang kami langsung masuk kantong para kontraktor itu."
Tim inspeksi dinas konstruksi militer Amerika lantas datang memeriksa. Mereka merekomendasikan perbaikan masif yang meliputi penggantian pipa-pipa pembuangan di tiga lantai. Sebagian malah harus dihancurkan dan dibangun baru. "Pipa bangunan yang dibuat Parsons jelek sekali, sampai-sampai tinja dan air seni merembes dari dinding," kata Letnan Selah, anggota tim.
Parsons Corporations hanya satu dari ribuan kontraktor yang disewa Departemen Pertahanan yang kerap disebut Pentagon dan Departemen Luar Negeri Amerika dalam menyuplai kebutuhan rekonstruksi dan keamanan selama empat tahun operasi militer Amerika di Irak, Kuwait, dan Afganistan.
Menurut The Washington Post, penunjukan kontraktor adalah hal biasa sejak terjadinya pemotongan jumlah karyawan besar-besaran di era 1990-an. Sebuah operasi militer adalah multiproyek yang kompleks. Di luar segalanya yang sifatnya menggerakkan pasukan untuk menyerang dan bertahan, banyak sekali jasa nonmiliter yang dibutuhkan. Dari yang praktis seperti katering makanan hingga yang mendukung infrastruktur seperti pengadaan penerjemah dan komputer. Itu pun masih belum terhitung bahwa pemerintah Amerika sering kali membutuhkan jasa keamanan tambahan—boleh disebut tentara bayaran—di samping tentaranya sendiri. Inilah tradisi yang berawal dari tindakan Kedutaan Besar Amerika serikat di Haiti yang menyewa tentara bayaran untuk melindungi diplomat mereka pada 1994. Semua itu menunjukkan terbukanya kemungkinan untuk KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
Tak ada yang menyangka justru kebiasaan penunjukan itu sekarang jadi bola liar. Pekan lalu diungkapkan, uang rakyat Amerika yang digelontorkan— melalui Departemen Luar Negeri—ke kantong perusahaan penyedia jasa keamanan melonjak empat kali lipat. Tahun ini jumlahnya mencapai US$ 4 miliar. Kebanyakan mengalir ke perusahaan seperti General Dynamic Corporations dan Blackwater USA. Para penyedia jasa, selain melindungi diplomat, juga mendapat proyek melatih polisi lokal dan menjalankan program pemberantasan obat bius.
Nah, di balik jumlah fantastis itu, satu demi satu elemen-elemen KKN itu mulai terbongkar. Brent Wilkes, bekas kontraktor militer, ketahuan menyogok anggota parlemen ratusan ribu dolar, termasuk di antaranya layanan wanita tuna susila dan perjalanan dengan jet pribadi. Christopher Alf, seorang pengusaha jasa transportasi asal New York, mengaku menggelembungkan harga dalam transaksinya sepanjang 1999–2005 dengan Pentagon.
Yang terbesar adalah kasus Mayor John L. Cockerham dari Fort Sam Houston. Petugas pengawas kontrak di Kuwait ini sedang menjalani proses pengadilan akibat dituduh menerima uang "terima kasih" sepanjang 2004 dan 2005.
Lantas pemerintah Amerika sibuk beres-beres. Dari kasus Cockerham, sebuah tim inspeksi lantas dikirim untuk mengaudit 6.000 kontrak yang mengalir dari kamp Arifjan, Kuwait. Audit pun dilakukan secara menyeluruh. Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice meminta inspeksi ketat terhadap ribuan kontrak yang diteken departemennya dan Pentagon. Militer melakukannya sendiri, selain inspeksi yang dilakukan lembaga independen yang mewakili parlemen Amerika.
Hasilnya mencengangkan. Menurut Chris Grey, Komando Investigasi Kriminal Militer, ada hampir seratus kasus dalam penyelidikan terkait dengan kontraktor jasa keamanan dan pengadaan logistik operasi. "Dua puluh tiga orang sudah dijatuhi tuduhan dan lebih dari US$ 15 juta sogokan berpindah tangan," katanya.
Sayangnya, penyelidikan berhenti pada sederet oknum belaka. Maksudnya, oknum pemerintah yang menerima uang haram masuk penjara, tapi kontraktor yang memberi justru lolos. Seperti dalam kasus Christopher Alf, pendonor rutin politisi kelas satu (seperti pasangan Clinton dan George Bush) ini dikenai denda puluhan juta dolar, tapi tak perlu masuk bui.
Atau, pemerintah bersikap lembek terhadap anggaran yang "tak disengaja" dikemplang kontraktor. Ambil contoh DynCorp, kontraktor jasa keamanan terbesar yang menjadi mitra Pentagon. Menurut The Christian Science Monitor, laporan kerja DynCorp demikian berantakannya sehingga tak jelas lagi apa yang diperoleh pemerintah dari mereka.
Audit terhadap pembayaran DynCorp mendeteksi adanya kelebihan pembayaran, termasuk untuk biaya perjalanan bisnis dan jam kerja pegawai yang tak jelas. Ada lagi, misalnya, bon yang diklaim DynCorp atas pembelian alat pemindai sinar X yang tidak pernah dipakai. Juga, ratusan ribu dolar bon hotel untuk para petingginya, bukannya ditempatkan di mess tempat tinggal yang sudah ada. Ini terjadi meski Departemen Luar Negeri buru-buru meralat bahwa pengeluaran itu terjadi di Afganistan dan bukan di Irak.
Juru bicara DynCorp Gregory Lagana mengatakan, kelebihan pembayaran itu hanya sepotong kecil dari dana yang mereka terima. Menurut dia, tentu saja perusahaannya akan membayar bila terjadi kelebihan pembayaran ke pemerintah. "DynCorp sudah membayar kelebihan sampai US$ 72 ribu. Itu tak sengaja, cuma masalah pembukuan," katanya.
Bisa jadi, jumlah itu kecil untuk DynCorp yang sudah menuai keuntungan luar biasa. Akhir Oktober lalu, DynCorp melaporkan perolehan keuntungan besar, bukan saja dari jasa keamanan, tapi juga dari divisi penjualan pesawat dan kendaraan tempur. Pada kuartal ketiga tahun ini, labanya melonjak ke angka US$ 6,8 miliar. Perang adalah bisnis besar. Boleh jadi, perang telah memindahkan uang dari kantong para pembayar pajak ke perusahaan-perusaha an besar. Tak terkecuali ke saku beberapa oknumnya yang tak bertanggung jawab.


Never miss a thing. Make Yahoo your homepage.

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

new professional

network from Yahoo!.

Fitness Edge

A Yahoo! Group

about sharing fitness

and endurance goals.

Free airline tickets

Win a free trip

home for the

holidays from Yahoo!

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: