Rabu, 28 November 2007

[psikologi_transformatif] Re-Post: ANTI-OEDIPUS [V]

Audifax sebelum berkhianat…

http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/7182
--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, audifax -
<audivacx@yahoo.com> wrote:

ANTI-OEDIPUS [V]
OLEH:
AUDIFAX
Peneliti di IISA-Surabaya, Penulis buku "Mite Harry Potter"(2005,
Jalasutra)



Anda salah besar jika membaca Anti-Oedipus sebagai sebuah teori yang
menjadi antitesis dari Oedipus[i]-nya Psikoanalisa. Anti-Oedipus yang
saya hadirkan [merujuk term Gilles Deleuze dan Felix Guattari] ini,
lebih baik anda baca sebagai sebuah "seni". Anti-Oedipus adalah suatu
cara melihat realita hidup kita masing-masing dengan melampaui segala
teritorial oedipal dan yang di-oedipalisasi, misalnya: keluarga,
tempat ibadah, sekolah, negara, ormas, dsb. Anti-Oedipus adalah sebuah
perjalanan pencarian untuk menemukan kembali "kehidupan" dengan cara
mendeteretorialisasi kode-kode oedipal yang membatasi mengalirnya
energi kehidupan yang ada dalam diri manusia. Anti-Oedipus adalah
ajakan untuk meloloskan diri dari teritori yang telah dibentengi oleh
penjara neurotis. Dan layaknya pelarian dari penjara, si pelarian ini
bisa mengarah ke mana saja dan di mana saja setelah lepas dari penjara
oedipal.

Beberapa waktu lalu, Leonardo Rimba sempat menuliskan di milis
Psikologi Transformatif tentang Ego-less Self, yaitu diri yang tidak
memiliki ego. Apabila kita membantu orang, memberikan konseling kepada
orang lain, maka kita berada di situasi ego-less. Situasi ini
mensyaratkan keadaan meditatif atau gelombang otak Alpha ke bawah
(Theta, Delta) dimana pertimbangan-pertimbangan kepentingan dan
kenyamanan pribadi tidak akan mengintervensi. Tulisan Leo tentang
prinsip ini diminta oleh Vincent Liong. Apakah seorang Vincent Liong
akan menjadi pribadi yang tanpa ego ketika membantu orang? Jawabannya
ya, dan situasi tanpa egonya Vincent bisa berwujud hal-hal yang aneh
bin ajaib bagi manusia-manusia lainnya. Tetapi, apakah Vincent adalah
seseorang yang tidak memiliki ego? Tentu saja tidak. Ego tetap ada,
tetapi tidak mengintervensi selama proses memberikan bantuan secara
spiritual-psikologikal dijalankan.

Ego-less Self inilah yang tengah diperagakan Vincent dalam
logika-empatinya. Di situ ia mengajak orang untuk keluar dari ego-nya,
untuk menerima kemungkinan-kemungkinan. Ego ini adalah sesuatu yang
oedipal. Ego mengadaptasi banyak hal yang sifatnya oedipal untuk
membatasi gerak suatu energi dalam diri manusia. Pada awalnya
bertujuan agar energi yang ada dalam manusia yang satu tidak
menggerakan manusianya membentur manusia yang lain, tapi seiring
kehidupan yang bergerak semakin ter-oedipalisasi, maka manusiapun
melenyap tertelan ego-egonya. Manusia, lalu tak bisa dengan tulus
berempati, melihat keberagaman serta kemungkinan-kemungkian lain
selain yang ada dalam benak [ego]nya.

Untuk menjadi Anti-Oedipal, berarti mampu melepaskan diri dari Ego
saat berempati dengan menolong orang, serta melawan semua reduksi
analisis yang biasa diterapkan di psikologi ketika menghadapi
kliennya. Reduksi analisis yang sering menjebak psikolog untuk
melakukan totalisasi atau penyamaan perbedaan dan pluralitas. Vincent
memberi suatu pesan penting dalam logika empati, yaitu setiap orang
bisa menjadi penyembuh bagi orang lain. Dan, seseorang bisa menjadi
penyembuh bagi yang lain ketika dia mengabaikan egonya sendiri.
Vincent mengajak melalui proses denormalisasi dan deindividualisasi
melalui berbagai cara pandang baru, entah itu dengan buah-buahan,
Tarot, Ceki, dsb. Inilah sebenarnya salah satu cara yang selaras
dengan filosofi sebuah psikologi yang bertransformasi terus,
menghindarkan diri dari perangkap kemapanan. Inilah juga kenapa ia
mengatakan bahwa pemikiran logika empatinya sebagai non-theis dan
non-moralistik, karena theis dan moral selalu menyiratkan adalnya
"father" atau sesuatu yang oedipal.

Pada beberapa dari kita, yang diajak Vincent untuk menuliskan
mengenai logika empati [seperti saya dan Juswan], Vincent tidak
menekankan mengenai ajarannya sendiri sebagai hafalan [karena jelas
saya juga tak hadir di seminar logika empatinya], tapi ia memberi
suatu kesejatian pengalaman berproses. Apa yang dimaksud pengalaman
berproses? Di sini ada sebuah pengalaman mengenai logika empati yang
masing-masing penulis alami sendiri-sendiri [Saya, Juswan] tapi
menghasilkan suatu produk yang bermula dari Vincent. Produk ini
kemudian dikonsumsi oleh mereka yang membaca dan akan bereproduksi,
begitulah seterusnya. Jadi, berawal dari Vincent, ada sesuatu yang
mengarah pada empat penjuru mata angin dan terus bereproduksi. Ukuran
keberhasilannyanya bukan bagaimana melaksanakan seperti pedoman
penghayatan pengamalan Pancasila, tapi justru pada bagaimana melalui
produk ini masing-masing yang berjumpa dengannya bisa sampai pada
menemukan dirinya sendiri.

Proses menemukan diri sendiri bisa jadi bukan persoalan mudah dalam
dunia yang penuh silang sengkarut tanda Oedipal yang bisa diambil
sebagai identitas. Seperti dijelaskan Jacques Lacan pada mirror stage.
Bayi awalnya hanya dapat melihat tubuhnya sebagai bagian-bagian saja,
bayi belum mengenal konsep keseluruhan. Ketika bayi bercermin, ia
melihat bayangan tentang dirinya (citra, image), ia berpikir bahwa itu
adalah dirinya. Padahal itu hanya citraan. Tetapi orang lain (ibu)
meyakinkan bahwa citraan dalam cermin itu adalah dirinya.
Pengidentifikasian diri ini disebut misrecognition, ketika bayi
melihat bayangannya di cermin, ia berpikir bahwa bayangan (citra) itu
adalah dirinya. Sehingga Lacan berpendapat bahwa ego atau self atau
"I"dentity merupakan fantasy, karena proses pengidentifikasian berasal
dari eksternal image dan bukan internal. Kemudian Lacan mengatakan
fase demand dan miror stage sebagai realm of the imaginary.

Di sinilah kemudian Lacan menjelaskan bahwa hasrat yang menggerakkan
manusia, tidak akan pernah dapat dipenuhi. Hasrat di sini bukan
hasrat untuk beberapa objek (need) atau hasrat untuk kasih sayang
atau bagaimana orang lain menanggapi dirinya (demand) tetapi hasrat
untuk menjadi pusat dari sistem, pusat simbol-simbol, pusat bahasa itu
sendiri yang disebut sebagai Phallus. Di sini Lacan meminjam teori
Freud yaitu oedipus complex. Pada tahap phallic, anak laki-laki
mencintai ibunya dan menganggap bahwa ayah merupakan saingannya.
Tetapi ayah lebih kuat dibandingkan dirinya, dan ada ketakutan pada
diri anak bahwa ayahnya akan memotong penisnya. Oedipus complex
digambarkan sebagai situasi dimana anak laki-laki ingin menyatu dengan
ibunya, ada hasrat untuk melakukan hubungan intim dengan ibunya.
Menurut Freud, konsep kehilangan atau lack direpresentasikan dengan
kehilangan penisnya.

Konsep Lack inilah yang menimbulkan hasrat untuk memenuhi lack itu.
Anak yang ingin menyatu dengan ibunya tapi terhalang ayah, lalu
berusaha menjadi ayah, berusaha menjadi phallus. Karena hanya phallus
yang bisa menyatu dengan ibu.

Implikasi psikologisnya dan implikasi sosial dari penjelasan Freud
dapat disimak dari pemaparan berikut. Ketika bayi mulai mengenal
konsep self dan other, pada mulanya lingkupnya kecil, bayi
mendefinisikan bahwa self adalah dirinya dan other adalah ibunya. Pada
saat beranjak dewasa anak memiliki pemahaman yang berbeda dengan masa
kecilnya, konsep self sekarang sudah menjadi semakin luas. Self adalah
sukuku, etnisku dan bangsaku. Ini merupakan implikasi psikologis,
dimana konsep ini lebih menitikberatkan pada ide, imajinasi atau
pemikiran anak mengenai self dan other. Pada masa dewasanya self yang
semula dirinya berkembang menjadi sukuku, etnisku, bangsaku.

Sejak itulah manusia semakin kehilangan dirinya. Gambaran ini juga
disampaikan secara bagus dalam sebuah scene di buku Harry Potter and
the Sorcerer's Stone.
"Orang yang paling bahagia di dunia bisa menggunakan Cermin Tarsah
seperti cermin biasa, yaitu, kalau dia memandang cermin itu dia hanya
melihat dirinya seperti apa adanya. Apakah ini membantu?"

Harry berpikir. Kemudian dia berkata perlahan, "Cermin itu
memperlihatkan kepada kita apa yang kita inginkan….apa saja yang kita
inginkan…."

"Ya dan tidak," kata Dumbledore pelan. "Cermin itu hanya menunjukkan
hasrat hati kita yang paling mendalam. Kau, yang tidak pernah kenal
keluargamu, melihat mereka berdiri mengelilingimu. Ronald Weasley,
yang selalu merasa minder dengan kesuksesan kakak-kakaknya, melihat
dirinya berdiri sendiri, menjadi yang terbaik di antara mereka.
Bagaimanapun juga, cermin ini tidak memberi kita baik pengetahuan
maupun kebenaran. Banyak orang sudah tersia-sia di depan cermin ini,
terpesona oleh apa yang mereka lihat atau jadi gila karenanya, karena
tak tahu apakah yang diperlihatkan itu riil atau bahkan mungkin"[ii]

Inilah drama manusia yang jatuh dalam oedipalisasi. Ia mengambil
identitas demi identitas yang dikiranya bisa memuaskan hasratnya.
Berusaha menjadi "Ayah" agar bisa memenuhi hasrat bersatu dengan ibu.
Pada situasi-situasi oedipal inilah ketakutan akan kastrasi atau
hukuman akan selalu membayangi. Ketakutan yang kemudian membuat
manusia menjadi tak tulus melihat kehidupan. Perbedaan, dianggap
sebagai ancaman terhadap phallus, dianggap sesuatu dapat mengkastrasi
phallus. Dan kahirnya, membuat manusia lupa bahwa hasrat bersatu
dengan "Ibu" adalah hasrat terhadap sesuatu yang matriarkal, yang
menerima perbedaan, pluralitas, yang merawat anaknya, yang bersifat
misteri, yang mengedepankan empati.

Vincent sebenarnya mengingatkan untuk menempatkan kembali segala
ketulusan matriarkal yang empatik, menolong dan menerima pluralitas
serta keberbedaan, di samping segala empirisme patriarkal yang
rasional, tertata, universal. Hanya dengan menghadirkan keduanya dalam
hidupnya, maka manusia bisa jernih melihat kehidupannya. Vincent
adalah V simbol cawan yang dalam Bintang David berdampingan dengan
Pedang; membentuk kesemibangan Yin dan Yang.

© Audifax – 22 Mei 2006

NB: Saya mem-posting esei ini ke milis Psikologi Transformatif,
Vincent Liong, dan R-Mania. Mungkin akan ada rekan-rekan dari
milis-milis tersebut yang akan mem-forward esei ini ke sejumlah milis
lain. Karena keterbatasan waktu, saya hanya akan menanggapi diskusi di
milis Psikologi Transformatif. Melalui esei ini pula saya mengundang
siapapun yang tertarik untuk berdiskusi dengan saya untuk bergabung di
milis psikologi transformatif
(www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif)

---------------------------------
CATATAN-CATATAN:

[i] Oedipus adalah istilah dalam psikoanalisa yang pertama kali
digunakan oleh Sigmund Freud. Dalam psikoanalisanya, Freud menjelaskan
mengenai Oedipus Complex, yaitu anak laki-laki yang mencintai ibunya
dan ingin "menyatu" dengannya. Namun, dalam Oedipus Complex ini
terdapat kompleksitas masalah karena hasrat untuk menyatu itu
diketahui oleh ayah dan si anak menghadapi ancaman kastrasi. Ayah
inilah yang kemudian mengatur agar anak tak bisa menyatu kembali
dengan ibu, sehingga menibulkan suatu kompleks masalah pada si anak.
Akhirnya, si anak mencari jalan lain yaitu dengan berusaha menjadi
seperti si ayah, karena ia berpikiran hanya ayah yang bisa menyatu
dengan ibu. Istilah Oedipus Complex diambil Freud dari mite Oedipus di
Yunani. Mite ini menggambarkan Oedipus yang jatuh cinta pada ibunya.


[ii] Joanne Kathleen Rowling; Harry Potter and The Sorcerers
Stone; sadurang Listiana Srisanti Jakarta : Gramedia; hal 265 – 266


INSPIRED READINGS:

Gilles Deleuze & Felix Guattari; (1984); Anti-Oedipus-Capitalism and
Schizophrenia; saduran Robert Hurley, Mark Seem, Helen R. Lane;
London: The Athlone Press


---------------------------------
Yahoo! Messenger with Voice. Make PC-to-Phone Calls to the US (and 30+
countries) for 2¢/min or less.

--- End forwarded message ---

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

new professional

network from Yahoo!.

Y! Messenger

Instant smiles

Share photos while

you IM friends.

Yahoo! Groups

Endurance Zone

Communities for

increased fitness.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: