Rabu, 28 November 2007

[psikologi_transformatif] Re-Post: POST-V

Audifax sebelum berkhianat…

http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/7074
--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, audifax -
<audivacx@yahoo.com> wrote:

POST – V

OLEH:
AUDIFAX
Peneliti di IISA-Surabaya, Penulis buku "Mite Harry Potter"(2005,
Jalasutra)


Menuju lautan-lautan baru
Ke sana – pergi menuju ke sana
Itulah yang kukehendaki
Pada diriku sendirilah aku percaya,
Pada tanganku sendiri
Terbuka, lautan membuka dalam biru
Meluncur, kapalku dari Genoa
Menginginkan dirinya meluncur
Bagiku, segalanya berpendar dengan kilatan baru
Sang Tengah Hari berjaga-jaga dalam ruang dan waktu
Hanya matamu – secara mengerikan
Menghunjam diriku, oh ketakterbatasan

--Friedrich Nietzche—

Nukilan di atas, adalah kata-kaya Friedrich Nietzche tentang
peziarahan hidup manusia. Nietzche, filsuf yang pemikirannya dikenal
telah `membunuh Tuhan'. Tapi berhati-hatilah sebelum menggelarinya
"pembunuh Tuhan". Seluruh keresahan filsafatnya justru bisa membantu
manusia untuk memurnikan Tuhan dari kekerdilan anggapan tentangNya.
Nietzche melakukan suatu refleksi filsafat yang ateis, namun kita
mesti berhati-hati dari dorongan untuk menyudutkannya sebagai ateis.
Dengan filsafatnya, ia justru memperolok mereka yang merasa telah
mencapai pencerahan dengan jalan ateisme maupun teisme.

Gaya pemikiran serupalah yang saya temukan pada sosok Vincent Liong
yang baru-baru ini mengemukakan pemikirannya tentang logika empati
yang menurutnya non-teisme dan non-moralitistik. Vincent bukan hanya
memperolok mereka yang merasa mendapat pencerahan dengan "Tuhan"
agama, tapi juga mereka yang mapan dengan "tuhan-tuhan" dalam ilmu
pengetahuan, khususnya psikologi.

Berbeda dengan dosen, profesor, guru besar atau tokoh-tokoh ilmu
pengetahuan yang justru ingin kata-katanya dikutip dan diulang persis,
terutama di saat-saat menjawab pertanyaan ujian atau melakukan
prosedur protokoler praktek psikologi, Vincent justru mengajak orang
untuk tak menelan begitu saja, mencatat kata-katanya, atau menangkap
ucapannya secara harafiah. Membaca Vincent dan kata-katanya, adalah
seperti membaca seni, di mana terdapat permainan paradoks, ironi,
kontradiksi, misteri serta ketakpastian di dalamnya. Semua itu hanya
bisa dinikmati dalam keindahan karya seni ketika orang bisa menerima
YANG-LAIN apa adanya. Sebagai seni, Vincent dan kiprahnya adalah karya
yang dekat dengan pengalaman keseharian, pengalaman untuk menerima
YANG-LAIN di hadapan kita. Pengalaman yang pada banyak kalangan
psikologi telah menjadi suatu hal yang langka.

Menerima YANG-LAIN apa adanya, bukanlah persoalan mudah bagi
manusia-manusia dekaden. Mereka merasa tak nyaman dengan kehadiran
YANG-LAIN ini, karena ia selalu luput dari cengkeraman teori,
penjelasan, aturan, norma, totalisasi yang di-tuhan-kan secara murahan
oleh manusia. Itu sebabnya, mereka-mereka yang biasa men-tuhan-kan
gelar, teori,norma, aturan, dan bentuk-bentuk absolusitas, akan merasa
tak nyaman dengan kehadiran Vincent Liong. Bukti ini bisa ditarik dari
fakta bahwa dia di-banning di dua milis besar psikologi mainstream,
padahal Vincent jelas-jelas mahasiswa psikologi. Di luar milis, tak
sedikit yang jelas-jelas menyatakan ketaksukaan atau ketaknyamanan
dengan Vincent, seperti halnya seorang tokoh ternama psikologi Indonesia.

Melalui pemikiran yang diistilahkan Vincent sebagai "Logika
Empatik", ia mengobrak-abrik fixed idea, established think,
sebagaimana tampak dalam cara orang memperlakukan teori, konsep,
hafalan, ide, tuhan, tatacara, kata dan bahasa. Vincent mengajak untuk
melepaskan itu semua dan menerima realitas apa adanya, setulusnya, in
genuinity. Jika ada sebuah ontologi dalam pemikiran Vincent, maka
ontologinya adalah ontologi-plural dan kaotik. Implikasinya, karena
ontologi bersifat plural dan kaotik, maka epistemologinya juga
mengakomodasi pluralitas perspektif alias bisa dimulai dari berbagai
sudut.

Saya akan contohkan dari bagaimana Vincent bisa masuk pada suatu
petanda (makna), melalui penanda apa saja, entah itu kartu ceki,
buah-buahan, kartu Tarot, HP, dan berbagai hal lain. Inilah yang saya
jelaskan bahwa dia mengobrak-abrik fixed idea, established think,
sebagaimana tampak dalam konsep, teori, hafalan, ide, tuhan, tatacara,
kata dan bahasa. Manusia selama ini menempatkan itu semua sebagai
sesuatu yang diterima begitu saja sebagai kebenaran, dan oleh
karenanya juga terjebak di dalamnya. Keterjebakan dalam empirisisme
inilah yang membuat manusia kemudian tak bisa menerima YANG-LAIN.
Segala masalah dalam penerimaan terhadap pluralitas, berawal dari cara
berpikir seperti ini. Merasa bahwa yang diyakininya secara empiris
benar dan menganggap yang lain dari itu adalah salah. Vincent, hadir
untuk dengan ontologi yang plural dan kaotik, mengajak untuk
menggunakan empati dalam menghadapi pluralitas.

Segala bentuk empirisme, bekerja atas dasar pengamatan empiris
(verifikasi) dan sesuatu yang menjadi kebiasaan. Berikut, saya akan
contohkan proposisi: "Vincent Liong adalah mahasiswa Fakultas
psikologi Universitas Atmadjaya" adalah proposisi yang bermakna
(penanda yang terhubung pada petanda/makna) karena dapat dibenarkan
atau disalahkan berdasarkan pengamatan empiris (verifikasi).
Kebenarannya akan dicek dengan sejumlah kriterium, misalnya: apakah ia
terdaftar, punya nomor mahasiswa, memenuhi absen, dan sebagainya.
Begitu pula dengan proposisi berikut: " Indigo adalah orang yang
memiliki aura ungu" adalah proposisi bermakna karena konvensi
(kesepakatan) yang telah ada di kalangan tertentu yang mengatakan
bahwa orang yang ketika difoto aura menunjukkan gambaran aura ungu
pada bagian tertentu tubuhnya adalah sama dengan yang dimaksud dengan
istilah "Indigo".

Kedua contoh proposisi tersebut adalah bentuk pemasungan bahasa,
yang menafikan relativitas di dalamnya. Apakah kriteria mahasiswa
psikologi Atmadjaya cukup dibuktikan dengan sejumlah kriteria
verifikasi? Lalu apa sebenarnya esensi dari mahasiswa psikologi itu
sendiri? Apa esensi dari mahasiswa psikologi Atmadjaya?. Dengan cara
berpikir seperti ini pulalah, seseorang dianggap berkompeten di bidang
psikologi, hanya jika bisa diverifikasi dengan sejumlag gelar atau
sertifikasi yang dipunyai. Padahal, itu tak benar-benar merujuk pada
makna yang berbicara mengenai kualitas. Begitu pula jika indigo
dijelaskan sebagai orang dengan aura ungu, lalu apa yang kita dapat
dari situ? Tidak mungkinkah Indigo dijelaskan sebagai sesuatu
YANG-LAIN? Tak mungkinkah indigo dilihat sebagai kebenaran yang lain?.
Cara berpikir sama terjadi pada fanatisme beragama yang menimbulkan
nirhumanitas. Semua fenomena itu, adalah gambaran bagaimana manusia
terbiasa hanya melihat permukaan dan menganggap
apa yang ada di permukaan adalah realitas sesungguhnya. Realitas yang
harus dijunjung sebagai kebenaran tertinggi. Inilah bentuk pemasungan
bahasa yang kemudian dikritik oleh W.V Quine (Neopragmatisme),
Ferdinand de Saussure (Strukturalisme) dan Jacques Derrida
(Post-strukturalisme).

Quine seorang filsuf neopragmatis, menyebut pemasungan kebermaknaan
suatu proposisi pada pengamatan empiris atau konvensi apriori sebagai
dogma yang sudah waktunya dipatahkan. Quine mengemukakan bahwa bahasa
tidak bisa ditentukan maknanya berdasarkan pengamatan empiris ataupun
konvensi apriori, karena tak ada satu katapun yang kebal terhadap revisi.

Quine mengemukakan teorinya yang disebut teori ketidakbertentuan
makna (indeterminacy of meaning). Teorinya tersebut mengemukakan bahwa
makna suatu kata tidak bisa ditentukan oleh pengamatan empiris atau
konvensi apriori. Makna tidak bisa ditentukan oleh konvensi apriori,
karena tidak ada konvensi yang sifatnya apriori-universal, melainkan
terbatas spasio-temporal. Demokritos dan Albert Einstein misalnya,
sama-sama menggunakan kata `atom', namun makna kata `atom' pada
Demokritos tidak sama dengan makna kata `atom' pada Albert Einstein,
karena mereka berdua memiliki konvensi tentang makna atom yang
dibatasi spasio-temporal mereka masing-masing.

Makna sebuah kata, menurut Quine, juga tidak bisa ditentukan oleh
pengamatan empiris. Quine memberikan sebuah ilustrasi yang cukup bagus
untuk memperjelas apa yang ia maksud. Quine mengambil contoh kata
`gavagai'. Apabila kita mendengar kata `gavagai' dari mulut seorang
penduduk asli suatu tempat tatkala ia melihat seekor kelinci melintas
di depannya, maka serta merta kita cenderung akan memaknai kata
tersebut sebagai `kelinci'. Namun, menurut Quine, kemungkinan makna
kata tersebut sejatinya tetap terbuka sejalan dengan berbagai
kemungkinan intensi sang penduduk asli tersebut. Kata `gavagai' oleh
penduduk asli mungkin ditujukan untuk merepresentasikan bagian tubuh
dari kelinci ataupun posisi dalam rangkaian gerak kelinci. Kita tidak
bisa mengklaim mana yang paling benar, karena makna kata bersifat tak
bisa ditentukan (indeterminate).

Saussure menjelaskan bahwa bahasa merupakan sesuatu yang otonom
terpisah dari realitas sebagaimana adanya. Makna dari suatu penanda
tak berasal dari realitas di luar bahasa, melainkan perbedaan antara
penanda itu sendiri. Misal, kata `makam', mendapatkan maknanya tidak
dari ekuivalensinya dengan sesuatu di luar bahasa, melainkan perbedaan
fonemik `k' dengan `l' atau dengan `s'. Kata `makam' mendapatkan makna
dari perbedaan dengan kata "malam" atau "masam". Hanya denga mengganti
satu huruf, maka sebuah kata sudah menunjuk pada makna berbeda. Tapi,
apakah memang kata (penanda) itu melekat erat dengan makna (petanda)?.
Perhatikan yang ini, kata "suami" mendapatkan maknanya tidak dari
relasi intrinsik konsep suami sebagaimana adanya, melainkan dari
relasinya dengan oposisinya (mengapa bukan) "istri". Ya, ada semacam
sistem fixed, yang membuat suatu kata dianggap melekat pada suatu
makna. Sementara, cara pelekatan antara kata (penanda) dan makna
(petanda) itu sendiri tak jelas
alasannya. Bahasa dengan demikian bersifat arbitrer. Tidak ada
penjelasan logis kenapa orang Jawa menyebut binatang berkaki empat
yang kalau kencing kakinya diangkat satu sebagai "asu", sedangkan
orang Inggris menyebutnya "dog". Manusia menggunakan sebutan "asu"
atau "dog", itu lebih merupakan kebiasaan, sebagai kebenaran yang
telah diterima apa adanya dan hanya diverifikasi serta dikonvensi
secara spasio-temporal.

Inilah yang dibongkar Vincent melalui logika empatik. Ia bisa
mengambil penanda apa saja, baik itu Timun atau Kartu Ceki, untuk dia
hubungkan dengan petanda-petanda yang ingin dia akses. Secara
sederhana bisa saya gambarkan, dia mau ngomong tentang binatang
berkaki empat yang kalau kencing kakinya suka berdiri, bukan dengan
kata "anjing", "dog", atau "asu", tapi dengan penanda lain dan penanda
itu bisa apa saja. Bisa timun, bisa kartu dengan gambar absurd,
mungkin bahkan bisa dengan bercak tinta yang dibuatnya sendiri. Toh
sama-sama arbitrernya dengan mereka yang meletakkan kata "dog",
"anjing", atau "asu". Bedanya, tak ada empirisme di sini. Tapi memang
bukan empirisisme yang menjadi tujuan di sini, tapi empatik. Empatik
adalah sesuatu yang terjadi ketika kita keluar dari EGO dan mencoba
merasakan kehadiran YANG-LAIN di hadapan kita. Jadi tak penting lagi
apakah ada verifikasi atau konvensi, karena memang bukan itu
tujuannya. Jika apa yang dilakukan bisa membawa
penyembuhan, inspirasi, petunjuk, pertolongan bagi orang lain, lantas
apa perlunya verifikasi? Bukankah memang apa yang dilakukan Vincent
antara orang satu dengan yang lain memang beda? Inilah yang sering
justru terlewatkan oleh orang-orang psikologi. Dalam penyembuhan,
mereka meributkan dulu verifikasi dan konvensi, apakah dia bergelar
Psikolog, apakah dia punya sertifikat? Apakah dia lulusan fapsi
berakreditas "A"?, Dsb, lalu justru melupakan esensi penyembuhan itu
sendiri.

Vincent mengajak kita untuk berpikir arif dengan menyadari batas
sekaligus ketakterbatasan pikiran kita masing-masing. Itulah tugas
bagi siapa saja yang mau belajar mencintai kebijaksanaan. Dengan
begitu, kita menjadi lebih mengenali dirinya sendiri, manusia terbatas
yang beraspirasi pada ketakterbatasan. Bersembunyi dengan takut karena
fiksasi pada keterbatasan bukanlah panggilan sejati manusia. Vincent
mengajak mereka untuk keluar dari fiksasi tersebut. Begitu pula orang
yang takabur terlalu percaya diri seolah memiliki ketakterbatasan
aspirasi, seperti seorang guru besar psikologi yang menantang anak
semester satu psikologi adu tulisan di jurnal dan koran, menurut
peribahasa Jawa, itu bukan sikap Eling lan Waspada.

Manusia berada di antara ketegangan antara keterbatasan dan
ketakterbatasan. Kepastian dan ketakpastian tatanan kaotik. Seperti
halnya ketika berhadapan dengan seorang Vincent Liong, sosok
YANG-LAIN, yang menyapa kita keluar dari EGO, mengajak kita untuk
mentransendensi dari imanensi keseharian. Seperti filsuf kuno,
Heraklitos, yang memberi rambu kepada manusia agar tak terlalu cepat
menyalak di depan yang tak dikenali, begitu pulalah fenomena Vincent
Liong ini. Kita bisa melihat bahwa di sejumlah kalangan, Vincent
seolah menjadi hantu bagi mereka. Dan kalangan ini, yang terjebak
dalam moralitas kawanan, dengan segera menyalak seperti anjing ketika
berhadapan dengan Vincent Liong, sesuatu yang tak bisa dikenali
melalui verifikasi atau konvensi yang ada di kalangan tersebut.

Jadi, memahami Vincent Liong, adalah dengan melampaui Vincent Liong
sendiri. Karena seperti dikatakan Vincent pada saya, ia sendiri
kosong, karena itu maka berisi. Ia kosong, karena itu ia merupakan
palung, ia adalah "V", sebuah huruf yang menyerupai palung, yang bisa
menyedot orang yang terjebak mereaksinya secara an sich, hitam-putih,
atau dengan verifikasi maupun konvensi seperti `Indigo", "devian" dan
sejenisnya; atau yang mengajaknya beradu tulisan di media massa dan
jurnal seperti dilakukan seorang tokoh psikologi ternama Indonesia.
Memahami Vincent Liong, adalah sebuah pelampauan atasnya, sebuah
pelampauan atas palung, sebuah POST-V.


© Audifax – 16 Mei 2006

NB: Saya mem-posting esei ini ke milis Psikologi Transformatif,
Vincent Liong, dan R-Mania. Mungkin akan ada rekan-rekan dari
milis-milis tersebut yang akan mem-forward esei ini ke sejumlah milis
lain. Karena keterbatasan waktu, saya hanya akan menanggapi diskusi di
milis Psikologi Transformatif. Melalui esei ini pula saya mengundang
siapapun yang tertarik untuk berdiskusi dengan saya untuk bergabung di
milis psikologi transformatif
(www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif)

INSPIRED READINGS:
Donny Gahral Adian; (2006); Percik pemikiran Kontemporer – Sebuah
pengantar komprehensif; Yogyakarta: Jalasutra

A. Setyo Wibowo; (2004); Gaya Filsafat Nietzche; Yogyakarta: Galang
Press



---------------------------------
Talk is cheap. Use Yahoo! Messenger to make PC-to-Phone calls. Great
rates starting at 1&cent;/min.

--- End forwarded message ---

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

new professional

network from Yahoo!.

Y! Messenger

All together now

Host a free online

conference on IM.

Curves on Yahoo!

A group for women

to share & discuss

food & weight loss.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: