Rabu, 28 November 2007

[psikologi_transformatif] Re-Post: HERMENEUTIKA DAN SEMIOTIKA

Audifax sebelum berkhianat…

http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/6788
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/6789
--- In psikologi_transformatif@yahoogroups.com, audifax -
<audivacx@yahoo.com> wrote:

HERMENEUTIKA DAN SEMIOTIKA

OLEH:
AUDIFAX
Peneliti di IISA-Surabaya, Penulis buku "Mite Harry Potter"(2005,
Jalasutra)


There's a sign on the wall
But she wants to be sure
'cause you know sometimes words have two meanings.

(Stairway to Heaven – Led Zeppelin)

Manusia adalah mahkluk yang berada dalam teks-teks. Di milis, kita
berjumpa dengan teks. Di perkuliahan kita berjumpa dengan teks. Di
lingkup agama kita berjumpa dengan teks. Dan masih banyak lagi
peristiwa, tempat, waktu di mana kita berjumpa dengan teks. Maka dari
itu, terdapat banyak cara untuk memahami teks tersebut. Dua di
antaranya yang akan saya bahas dalam tulisan ini adalah Hermeneutika
dan Semiotika. Apa itu hermeneutika dan semiotika? Kita lihat sekilas
dulu sebelum masuk pada pembahasan lebih detil.

Semiotik atau semiology, adalah studi tentang tanda, baik tanda yang
tampil individu atau dalam suatu kelompok sistem tanda. Meliputi pula
studi bagaimana memaknakan tanda dan memahaminya. Seorang semiotis
kerapkali bahkan juga menguji bagaimana organisme, baik besar kecil,
membuat prediksi mengenainya dan mengadaptasinya pada ceruk-ceruk
penjelasan semiotik yang begitu beragam di dunia ini[1]. Dalam
semiotika, tanda kerapkali dirujukkan pada teks. Sejak pertama kali
dikonsepkan secara utuh oleh Ferdinand de Saussure, semiotika banyak
berkutat dengan teks.

Hermeneutik, adalah teknik filosofis yang memberi perhatian pada
interpretasi dan pemahaman teks. Hermeneutik juga kerap dijabarkan
sebagai teori interpretasi dan pemahaman sebuah teks dengan berbasis
teks itu sendiri. Seorang hermeneutis yang menginterpretasi suatu
teks, dia bisa melakukan secara informal, bisa pula melakukan dengan
menghubungkan dengan teori interpretasi tertentu[2].

Konsep "teks" di sini tak terbatas pada sesuatu yang tertulis, tapi
meliputi pula ujaran, penampilan, karya seni, dan bahkan peristiwa. Di
sini sebenarnya bisa pula dikatakan interpretasi "teks sosial". Bahkan
simbol-simbol pun, sebenarnya merupakan teks. Termasuk simbol-simbol
dalam mimpi seseorang

SEKILAS HERMENEUTIK
Hermeneutika, metode tafsir teks yang namanya diambil dari salah
satu dewa Yunani, Hermes. Dewa yang satu ini, adalah penghubung dan
pembawa pesan kepada manusia. Manusia menjadi mengerti makna pesan
dari dewa-dewa di Olimpus yang sifatnya "Ilahiah" karena peran dari
Hermes. Kurang lebih sama dengan Hermes, seperti itu pulalah karakter
dari metode Hermeneutika.

Meski bisa jadi tak banyak yang setuju, Sigmund Freud bisa jadi
merupakan salah satu peletak kunci hermeneutik ketika ia menulis buku
The Interpretation of Dreams. Model-model interpretasi mimpi lain,
bisa jadi juga bersifat hermeneutis ketika menempatkan mimpi sebagai
pesan dari suatu kekuatan yang besar, ketika mereka menginterpretasi
berdasar kekuatan subyektivitas masing-masing penafsir. Kita bisa
melihat ini pada sejarah Yunani dan Ibrani di mana mimpi kerap menjadi
kunci dalam kehidupan. Kisah dari nama-nama seperti Yusuf, Daniel,
Abraham dan sejumlah nama lagi, membuktikan kekuatan mereka dalam
hermeneutika dalam menafsir mimpi. Dalam kisah-kisah itu, Mimpi
dianggap pesan dari suatu entitas Ilahi. Di Yunani, tafsir hermeneutis
berkembang dalam puisi-puisi. Salah satu yang terkenal adalah
karya-karya Homer.

Dalam perkembangannya, sejumlah tokoh memberi sumbangan dalam
perkembangan hermeneutik. Di antaranya adalah: Friedrich
Schleiermacher yang mengeksplorasi kesejatian dari pemahaman dalam
hubungannya tak hanya dengan teks-teks suci, tetapi juga semua teks
manusia dan model-model komunikasi. Interpretasi teks harus diproses
dengan mem-framing isi dalam term yang bisa mengorganisasinya dalam
suatu pemahaman tertentu. Schleiermacher membedakan antara
interpretasi grammatikal dan interpretasi psikologis.

Wilhelm Dilthey memperluas hermeneutik dengan menghubungkan
interpretasi hermeneutis pada semua objek yang bersifat historis.
Memahami pergerakan dari apa yang tampak di permukaan dari tindakan
manusia dan bagaimana mengeksplorasi makna di dalam tindakan tersebut.
Dilthey menjelaskan bahwa apa yang bergerak dari luar ke dalam, dari
"ekspresi" menuju "yang diekspresikan", bukan berbasis empati. Kenapa?
Karena empati melibatkan suatu identifikasi langsung dengan orang
lain. Interpretasi melibatkan suatu yang tidak langsung atau dimediasi
oleh pemahaman yang hanya bisa terjadi dengan menempatkan ekspresi
manusia dalam konteks historikal. Memahami bukan sebuah proses
merekonstruksi pemikiran dari si pemaham (author), tetapi lebih suatu
artikulasi apa yang diekspresikan dalam yang tengah berjalan.

Semenjak Dilthey, disiplin hermeneutik telah beranjak keluar dari
sentral tugasnya semula dan berkembang dengan spektrum yang meliputi
semua jenis teks, meliputi multimedia dan memahami dasar pemaknaan.
Lalu, muncullah Martin Heidegger yang mendorong lebih jauh batas
hermeneutik dari interpretasi menuju pemahaman eksistensial dalam
semangat bagaimana melakukan pemahaman terhadap meng-Ada secara
otentik dan secara sederhana menempatkannya sebagai suatu cara
mengetahui (way of knowing). Pendekatan inilah yang kemudian banyak
memberi kontribusi pada fenomenologi, sebuah aliran yang anti-teori
dan anti-positivisme.

Setelah Heidegger, muncul nama Hans-Georg Gadamer. Dalam bukunya
"Truth and Method", Gadamer yang merupakan murid Heidegger,
mengembangkan sebuah metode hermeneutis yang mengupas kebenaran. Nama
lain yang memberi banyak kontribusi bagi pengembangan hermeneutik
adalah Paul Ricoeur. Tentang Hermenutika Paul Ricoeur, rekan Bagus
Takwin telah membahas secara lebih detil pada esei "Sekilas
Hermeneutika Paul Ricoeur" , bisa dilihat di milis Psikologi
Transformatif pada link berikut:
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/6017
serta tulisan berjudul: Epoche dan Distanciation – dalam Fenomenologi
Hermeneutik Paul Ricoeur di link:
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/6018


SEKILAS SEMIOTIK Ada dua tokoh penting dalam semiotika, yaitu
Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce. Meski semiotika
sendiri sebenarnya sudah ada sejak masa sebelum mereka, tapi keduanya
dianggap sebagai peletak dasar konsep semiotika. Selanjutnya sejumlah
semiotisian, mengembangkan metode analisis tanda ini berdasar apa yang
telah diletakkan oleh Saussure dan Pierce.

Saussure mengemukakan dua konsep dalam semiotika, yaitu penanda dan
petanda. Keduanya, mengarakterisasi "tanda". Jadi, dalam setiap
"tanda" ada unsur "penanda" dan "petanda". Penanda adalah konsep
akustik atau suara. Sedangkan petanda adalah konsep mental. Misalnya:
konsep mental mengenai mahkluk dengan ciri: berkaki empat, berbulu,
setia, banyak dipelihara di rumah, kalau kencing kakinya diangkat
satu, dianggap najis oleh agama tertentu; konsep mental itu menyatu
dengan konsep akustik "anjing". Jadi ada sebuah tanda yang menyatukan
antara konsep akustik "anjing" dan konsep mental mahkluk tertentu.

Saussure menjelaskan bahwa hubungan antara penanda dan petanda ini
bersifat arbitrer, manasuka, atau bahasa jawanya "Sak karepe". Lho?
Iya. Coba saja lihat. Untuk konsep mental yang sama, orang Inggris
menyebut "Dog", orang Jawa "Asu", itupun masih ada bahasa yang lebih
halus yang menyebut "Segawon". Di daerah tertentu disebut juga
"guk-guk". Filosofi arbiter ini, tak pelak memengaruhi sejumlah
pemikiran yang kelak muncul sesudah Saussure, seperti Derrida,
Barthes, Baudrillard, dll.

Pierce, sedikit berbeda dengan Saussure. Ia mendefinisikan semiotik
sebagai

"...action, or influence, which is, or involves, a cooperation of
three subjects, such as a sign, its object, and its interpretant, this
tri-relative influence not being in any way resolvable into actions
between pairs."

Jadi, jika Saussure menjelaskan dalam tanda ada unsur penanda dan
petanda, Pierce justru melihat ada tiga hal penting dalam semiotika
yang bisa dijelaskan melalui Tanda, objek, dan interpretan. Tanda,
mirip dengan apa yang dijelaskan Saussure dengan penanda. Jadi kata
"anjing" adalah tanda. Objek adalah anjingnya itu sendiri, yang hidup
dan berlari dan bisa menggigit dsb. Sedangkan interpretan mirip dengan
konsep mental yang dijelaskan oleh Saussure.

Dalam penjelasan mengenai hermenutik, saya menghadirkan contoh mimpi
yang ditafsir secara hermeneutis. Pada penjelasan mengenai semiotik
ini, saya juga akan menghadirkan contoh mengenai mimpi. Bagaimana
mimpi ditafsirsecara semiotis? Jika secara hermeneutis, saya
menghadirkan Freud, maka secara semiotis saya menghadirkan Carl G.
Jung. Ini bisa jadi juga banyak yang tak setuju, mengingat dalam
perkembangan semiotis, justru Freud yang lebih berperan, terutama pada
tokoh-tokoh seperti Jacques Lacan, Julia Kristeva, Luce Irigaray,
Jacques Derrida, dll. Tapi saya punya argumen. Jung lebih semiotis
pada teorinya, ketimbang Freud, karena Jung mempertimbangkan
sinkronisitas.

Mimpi dalam kajian Jung, dilihat maknanya berdasarkan
sinkronisitasnya dengan arketipe. Setiap mimpi, memuat arche atau
bentuk anterior yang mendahului "Ada". Arche ini adalah sesuatu yang
tak terjelaskan, namun ia hadir membawa pesan yang bisa dikoding
"hanya" oleh si penerima pesan "dengan memperhatikan pula" keterkaitan
pesan itu dengan pesan lain yang muncul. Misalnya, Jung pernah
menemukan seorang perempuan di Barat yang bermimpi persis dengan salah
satu cerita mitologi di Cina, padahal si perempuan sama sekali belum
pernah mengetahui cerita tersebut. Inilah archetype. Arche yang muncul
dalam tipe atau bentuk khusus. Makna atau pesan yang ada dalam mimpi
anak perempuan itu, memiliki keterkaitan dengan mite di Cina.

Nah, sinkronisitas inilah yang sejalan dengan "hukum" sinkronik dan
diakronik dari semiotik. Sebuah tafsir semiotik, selalu disejajarkan
dengan kehadiran sesuatu yang lain dalam sebuah sistem. Saya akan
gambarkan sebagai berikut: Saat kita makan malam, pada saat bersamaan
hadir piring, garpu, sendok, meja makan, mungkin pisau, mungkin lilin,
dan berbagai pernik lain. Satu sama lain ini berhubungan jadi ketika
kita menafsir sendok dalam konteks makan malam, ia bukan sesuatu yang
terlepas dari pernik lain. Inilah sinkronik. Begitu pula ketika
"proses" makan malam itu telah terjadi, masing-masing pernik ini
"berjalan". Lilin terbakar habis. Piring terisi, lalu kosong. Garpu,
sendok, pisau menjalankan fungsinya. Nah, dalam "proses" ini, yang
satu berhubungan dengan yang lain, inilah diakronik.

Saya akan paparkan sebuah contoh menarik dari liputan Jakarta Pos
tentang seminar yang dilakukan Vincent Liong berikut (lihat
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/6710) :

"Ask a question, slice the fruit, see the surface and feel it. The
fruit can tell what you want to know," he said.

"Ask a question," Vincent told a student.

"Tell me about my sister's relationship with his boyfriend," said
one participant.

Vincent cut a cucumber and scrutinized the surface.

"The boyfriend is ignoring her. But she's putting up with it. She's
very patient," Vincent said with confidence. "Eventually, she will be
tired of the situation. You don't have to tell her to leave him,
she'll do it."

Perhatikan taktik pemindahan antara penanda dan petanda (jika kita
memakai konsep Saussurean), antara tanda, objek, dan interpretan (jika
kita memakai konsep Piercean), serta sinkronisitas dan diakronisitas
di dalamnya. Ini adalah permainan semiotis. Buah adalah simbol atau
penanda atau tanda. Kita bisa meletakkan secara arbitrer dengan
"konsep mental" mengenai relasi seorang perempuan dan kekasihnya.

Sama seperti orang Jawa melekatkan secara arbitrer "segawon" dengan
konsep mental mahkluk tertentu, yang orang Inggris justru melekatkan
"dog", di situ kita lihat walau arbitrer, tapi bukan berarti
sepenuhnya tidak berhubungan. Ada sesuatu yang dalam semiotika disebut
dengan strukturalisme. Nah, inilah yang dipraktekkan Vincent. Dia
melekatkan pula secara arbiter antara "Timun" dan "relasi A dan B".
Apakah sepenuhnya tidak berhubungan? Pada kenyataannya terdapat suatu
seperti strukturalisme yang terjadi pada "segawon", "dog", "anjing",
"asu" dsb. itu.

Inilah sebuah permainan yang saya istilahkan dualitas dua hal
berlawanan. Derrida menjelaskan ini melalui differance dan
dekonstruksi. Tao menjelaskan dalam konsep: Kosong adalah berisi,
berisi adalah kosong. Apa artinya semua itu? Bahwa dalam kekaburan,
terdapat kejelasan. Dalam kekosongan terdapat pula keberisian. Dalam
ketaktahuan terdapat pula pengetahuan. Dan seterusnya. Jadi tak ada
mata uang yang terdiri dari satu sisi. Kenapa kita tak mampu memahami
itu semua? Karena cara berpikir kita terjebak dalam bahasa. Dalam
bahasa, berisi tak mungkin kosong, begitu pula sebaliknya. Permainan
kecil Vincent itu sebenarnya adalah sebuah permainan yang mengajak
untuk melampaui bahasa. Kenapa? Tujuannya adalah melampaui
"keterbatasan pikiran" yang terbiasakan oleh bahasa.

PERBEDAAN HERMENUTIKA DAN SEMIOTIKA Metode Hermeneutik, awalnya
merupakan metode interpretasi terhadap teks-teks suci yang kebanyakan
ada pada kitab suci. Semiotika lebih banyak digunakan dalam studi
kultural. Sekilas, dari sisi kegunaannya untuk analisis teks,
Hermeneutika terlihat mirip dengan semiotika. Namun, ada karakteristik
khusus dari hermeneutik yang membedakannya dari semiotika, yaitu
kekuatan subyektivitas penafsirnya. Semiotika, berbeda dari
hermeneutik, memiliki penekanan pada sisi diakronik dan sinkronik dari
teks.

Hermeneutik, menurut hemat saya, akurasinya mengandalkan pada
ketajaman kemampuannya, serta bagaimana ia bisa secara tulus, genuine
menginterpretasi sesuatu. Tafsir-tafsir hermeneutis, bisa kita lihat
kualitasnya dalam masyarakat kita, seperti bagaimana pengakuan seorang
bom bunuh diri tentang apa yang ditafsirkannya tentang kematian. Di
milis psikologi transformatif, kita bisa melihat banyak sekali
tafsir-tafsir hermeneutis, terutama berkaitan dengan agama. Terutama
di sini tentang Tao dan pada sejumlah tulisan dari web Islam yang
dengan rutin selalu diforward ke milis psikologi transformatif.

Khotbah-khotbah agama, ramalan (dalam sejumlah tipikal tertentu),
interpretasi psikologi (dalam kasus tertentu pula) seringkali juga
dilakukan secara hermeneutis. Beberapa bahkan tanpa dilandasi adanya
kemampuan untuk menghasilkan akurasi Dalam kasus ramalan yang
dilakukan secara hermeneutis dengan daya akurasi kurang, bisa anda
baca pada esei Leo berjudul "pengakuan seorang peramal". Apakah tidak
ada orang yang bisa menebak langsung dan benar? Kenyataannya ada. Tapi
hanya sedikit yang memiliki kepekaan hermeneutis tinggi seperti itu.
Lebih banyak yang tidak memiliki tapi berlagak memiliki. Sama juga
dengan psikolog yang ketika pertama melihat orang lalu berlagak tahu
dengan menebak ini-itu.

Semiotika, mengandalkan pada kekuatan menghubungkan sesuatu dengan
yang lain. Tarot misalnya, bekerja dalam azas semiotis karena
mengandalkan pada sinkronisitas. Baik sinkronisitas antara
simbol-simbol dalam kartu dan simbol-simbol arkais, juga sinkronsitas
antara pewacana dan klien. Inilah sebenarnya yang seringkali
dijelaskan oleh Vincent dan Leo sebagai kerangka ilmiah dalam
"meramal". Memang apa yang dilakukan bisa ditempatkan dalam konteks
ilmiah, karena sisi sinkronik dan diakronik dalam semiotika, memiliki
sejumlah kemiripan dengan hukum validitas dan reliabilitas dalam ilmu
pengetahuan.

Semiotika pun membutuhkan penguasaan dengan level tertentu untuk
menghasilkan akurasi. Seseorang yang hanya memelajari sesuatu secara
parsial, akan sulit menjalankan metode ini. Semiotika mensyaratkan
suatu rentang pembelajaran yang luas. Itulah sebabnya di psikologi
metode semiotika ini masih asing, karena mereka cenderung meng-ekslusi
hal-hal lain seperti filsafat, sosiologi sebagai sesuatu yang tak
perlu secara mendalam dipelajari. Semiotika mensyaratkan untuk
memelajari akar pemahaman dari tanda dan simbol itu sendiri, serta
mempraktekkannya dalam kehidupan, maka tak ada cara lain selain
memelajari manusia, juga harus berusaha memahami filosofi serta budaya
dalam masyarakat, yang celakanya ada pada ilmu di luar psikologi.


© Audifax – 5 Mei 2006


NB: Saya mem-posting esei ini ke milis Psikologi Transformatif,
Vincent Liong, R-ManiaMungkin akan ada rekan-rekan dari milis-milis
tersebut yang akan mem-forward esei ini ke sejumlah milis lain. Karena
keterbatasan waktu, saya hanya akan menanggapi diskusi di milis
Psikologi Transformatif. Melalui esei ini pula saya mengundang
siapapun yang tertarik untuk berdiskusi dengan saya untuk bergabung di
milis psikologi transformatif
(www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif)

---------------------------------
CATATAN-CATATAN:

[1] Anonim; Semiotic; retrieved 5 Mei 2006; Online documents:
http://en.wikipedia.org/wiki/Semiotic

[2] Anonim; Hermeneutic; retrieved 5 Mei 2006; Online documenst:
http://en.wikipedia.org/wiki/Hermeneutics


---------------------------------
Love cheap thrills? Enjoy PC-to-Phone calls to 30+ countries for just
2¢/min with Yahoo! Messenger with Voice.

--- End forwarded message ---

__._,_.___
Recent Activity
Visit Your Group
Yahoo! Kickstart

Sign up today!

new professional

network from Yahoo!.

Y! Messenger

All together now

Host a free online

conference on IM.

Move More

on Yahoo! Groups

This is your life

not a phys-ed class.

.

__,_._,___

Tidak ada komentar: